Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Sunday 10 November 2019

Muludan Khas Makassar


Adat Makassar dilakukan orang Jawa di Manokwari
Mauludan di Salah Satu Masjid Di Manoowari
Akhir minggu kemarin saya berkesempatan untuk menikmati tradisi baru, yaitu Muludan. Mungkin merayakan kelahiran nabi Muhammad ini merupakan tradisi rutin yang lumrah dilaksanakan setiap tahun. Tapi cara merayakannya yang sangat berbeda. Sewaktu saya masih mondok ada tradisi untuk bersholawat saat Maulid nabi. SHolawat diba’ dilantunkan beberapa kali mulai pagi, sore hingga malam melantunkannya dengan penuh semangat. Tentunya sholawat tersebut dilantunkan dengan disertai alat musik terbang atau rebana dalam bahasa Indonesia.
Kalau di kampung beda lagi, biasanya di mushola atau masjid setelah sholat maghrib kami mendendangkan sholawat diba’. Saat itu juga ada tradisi bertukar cobek yang berisi makanan berat ataupun buah-buahan. Lambat laun memang tradisi mewadahi makanan dengan cobek tanah liat sudah mulai punah. Mulai jarang ada yang menyajikan nasi berkat dengan cobek. Kebanyakan mulai kembali menyajikan nasi diwadahi plastik.
Ada juga tradisi luar yang mulai masuk di daerah kampung saya di Malang sana. Seperti menggantungkan berbagai makanan kecil diatas kepala saat bersholawat. Nanti setelah acara selesai makanan yang digantung tersebut bisa diambil. Tradisi ini sebetulnya berasal dari pesisir utara Jawa Tengah. Merambat melalui tetangga saya yang pernah mondok di sana. Sehingga tradisi tersebut mulai perlahan masuk dan menggantikan tradisi bertukar makanan yang diwadahi cobek tanah liat.
Lain halnya dengan tradisi di Manokwari. Meskipun mayoritas muslimnya adalah orang Jawa, saya sama sekali tidak melihat tradisi jawa yang diusung. Malahan yang marak beredar adalah tradisi Makassar. Jadi merayakan Maulid tanpa diba' tapi hanya dengan ceramah. Ada beberapa sholawat yang dibacakan, setelah ceramah agama disampaikan maka ada "mahalul qiyam" seraya membaca "thola'al badru 'alaika". Jadi tidak sampai membaca full atau membaca setengah diba'.
Waktu diadakan acaranya juga seperti halnya pengajian biasa yang mengambil waktu panjang. Tidak bisa hanya di antara sholat maghrib dan isya'. Mayoritas masjid di Manokwari memilih waktu setelah isya', karena memang waktunya lebih "longgar". Setidaknya butuh 2 jam untuk menyelesaikan pengajian dan mendapat keterangan dari ustadz yang diundang (bukan warga sekitar masjid).
Selain kemasan acaranya juga kemasan makanan yang disajikan juga berbeda. Seperti halnya orang Makassar yang suka warna warni berkilauan, kemasan berkatnya pun juga demikian. Ada telur dan berbagai hiasan yang dibungkus kertas warna-warni berkilauan. Lalu digantungkan seperti pohon yang memiliki dahan dari kayu yang dibungkus kertas warna-warni juga. Jadi lebih mirip pohon telur warna-warni yang diletakkan di pot yang berkilau juga. Nah pot ini berisi beras ketan, ditancap batang pohon pisang untuk membentuk dahan yang kokoh.
Hadiah ini disajikan untuk anak-anak kecil. Untuk orang dewasa biasanya disajikan nasi kotak. Biasanya ada beberapa masjid yang membawa masing-masing dan juga ada pula yang dikoordinir pihak masjid. Untuk bingkisan berkilau tadi jelas disediakan masjid. Mungkin akan sedikit kurang meriah, tapi ada ustadz yang datang tersebut sudah merupakan kemeriahan tersendiri.
Itulah kemeriahan yang susah dijelaskan kepada daerah dimana islam menjadi mayoritas. Bisa saling berkabar saja merupakan kebahagiaan tersendiri. Tidak perlu merayakan dengan gemerlap. Kadang feel menjadi minoritas akan lebih seru ketimbang mayoritas yang lebih mendekat kearah perayaan dengan kemeriahan yang mendekat ke arah duniawi.

4 comments:

  1. Betul mas, perayaan maulid suku Makassar, umumnya masyarakat Sulsel memang begitu. Telur diwarnai dengan warna-warna mencolok. Cuman saya perhatikan dominan merah dan kuning (gold), sih.
    Saya tidak tahu lebih jauh, namun pemilihan warna ini juga sama dengan warna-warna yang sering digunakan masyarakat Bugis Makassar dalam acara pernikahan.
    Mungkin yang menjadi pertanyaan saya, di Monokwarikan banyak suku Jawa ya, terus mengapa tradisi muludannya mengikuti cara Bugis Makassar?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin suku bugis dan makassar lebih datang dahulu. Sampai sekarang pun saya masih bertanya-tanya. Hehehe

      Delete
  2. Gw malah gak pernah merayakan muludan. Tetangga gw gak ada yang ngerayain sih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di kota mah gitu yak, jarang-jarang yang ngrayain.

      Delete