Merauke=Sawah Jawa+Sungai Bintuni
Tulisan Merauke di Depan Lingkaran Brawijaya (Libra |
Beberapa hari kemarin saya berkesempatan perjalanan dinas ke
Merauke, ke kabupaten tertimur Indonesia. Sebetulnya agenda perjalanan tersebut
hanya satu hari saja, untuk berkoordinasi langsung ke Universitas Musamus
mengenai pelaporan keuangan. Tapi seperti yang sudah diketahui umum untuk
menuju dari dan ke kota kecil seperti Manokwari dan Merauke ini butuh beberapa
kali transit. Seperti yang kemarin saya jalani, harus transit semalam di
Jayapura.
Ada hal unik yang saya temui selama perjalanan, saat di
bandara Sentani misalnya. Saat landing saya sempat ketar-ketir, karena
bandaranya yang terletak di tengah-tengah bukit. Mungkin pembaca yang sering ke
luar pulau Jawa akan memaklumi hal ini. Biasa danau yang ada di luar pulau Jawa
memang begitu. Memiliki ciri khas: terletak di atas ketinggian, danaunya luas,
dan disampingnya ada perbukitan yang lumayan tinggi. Selain faktor geografis
saya juga sempat kaget dengan harga penginapan di sekitar bandara. Lebih mahal
dari Manokwari, padahal secara luas kota lebih besar dari Manokwari, tapi di
Jayapura ini lebih mahal.
Setelah terperangah dengan kejutan di Jayapura dan menginap
semalam, saya mulai melakukan perjalanan ke Merauke. Dari Jayapura harus
menempuh 40 menit menuju selatan. Kedua kota ini tidak terlalu dekat, namun saat
ada gelaran olahraga Pekan Olahraga Nasional kemarin kedua kota ini merupakan
kota primadona. Karena gelaran PON tersebut ditempatkan di kedua kota tersebut.
“Saat PON di Merauke ini menjadi kota besar, tapi setelah PON usai di sini
menjadi kota mati,” ungkap salah seorang supir yang saat itu mengantar kami ke
Hotel.
Sebelum menuju kesana saya ingin mempresentasikan bagaimana
Merauke dari udara. Hamparan sawah terlihat jelas dari udara, beberapa sungai
juga terlihat jelas yang membuat saya menyimpulkan Merauke ini kombinasi desa
Jawa dan Bintuni. Mirip sekali hamparan sawahnya dengan pedesaan di Jawa dan sungainya
yang besar nan luas mirip seperti Bintuni. Kata atasan yang menjadi teman
seperjalanan saya juga di Merauke ini datar dan luas, jadi banyak sawah. Sungai
yang luas itu bernama Kali Maro, karena besarnya sungai tersebut maka dibangunlah
pelabuhan di sungai tersebut.
Berkah yang berkelindan dari sungai dan sawah yang luas adalah
melimpahnya kepiting, udang dan beras. Bahkan kata orang Merauke beras Merauke ini
bisa mencukupi kebutuhan beras sebagian besar masyarakat provinsi Papua. Mungkin
fakta ini yang saat ini masih belum ter-publish. Dan juga ada fakta yang
membuat saya terpukau dan menginginkan bersepeda di Merauke, karena di Merauke
ini tanahnya datar dan tidak ada track naik maupun turun. Hingga daerah
perbatasan di distrik Sota masih datar, menurut pejabat Universitas Musamus saat
kami berbincang, tanjakan mulai ada di distrik Boven Digul. Ke distrik yang
terkenal sebagai tempat pengasingan para pejuang tersebut kurang lebih 350 km
dari kota Merauke.
Dugaan saya tersebut terjawab, saat saya menginap di Hotel
Halogen. Sewaktu jam sarapan saya baru keluar kamar jam delapan pagi setelah
sebelumnya saya memilih untuk berjalan-jalan dan memfoto tulisan Merauke di Lingkaran
Brawijaya. Di saat pukul delapan tersebut saya baru sarapan dan berbarengan degngan
para tamu hotel yang masih memakai Jersey sepeda. Sepertinya seru jika ada
persewaan sepeda yang dapat memfasilitasi tour dengan memakai sepeda di
Merauke. Jadi wisata ke Merauke tidak melulu ke perbatasan Sota, tapi juga ada
wisata ekonomis yang bisa dilakukan selama sehari.
Saya menjadi sangat bersyukur berdinas di Papua, bisa menuju
pucuk timur Indonesia ini membikin rasa bersyukur saya membuncah di dalam hati.
Tidak semua orang bisa mengunjungi kabupaten ini. Semoga cerita perjalanan ini
dapat membantu pembaca untuk menambah refensi tentang Merauke.
0 comments:
Post a Comment