Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Monday 14 May 2018

Saya Baru Pulang dari Bangkok


Senin tepat tanggal 14 Mei 2018 saya kembali melakukan romansa dengan Trea. Tak terlampau lama memang dari perjalanan ke Sragen. Berbekal tekad yabg kuat dan niat yang tulus, saya memulai perjalanan dari Jl. Kendalsari 8. Sengaja memulai perjalanan tidak dari rumah, karena pada hari minggunya mendapat ajakan piknik dari owner web sebelah. Sengaja menceritakan liburan ke Kediri dahulu memang, karena sudah jelas nampak konsep tulisan di otak.
Trea Mejeng di Perbatasan Malang -Kediri

Kembali ke perjalanan saya, tepat pukul 10 saya memulai perjalanan melewati Batu. Sampai Pare tepat saat adzan dhuhur berkumandang. Karena saya sangat buta akan kota dengan monumen Arc de Triomphe ini saya memilih untuk merujuk pada peta daring.
Singkat kata saya sampai pada sebuah warung makan yang dapat dikatakan inovatif. Warung makan ini ada kolam ikan nilanya. Memang konsep warung ditengah kolam seperti ini sudah pernah saya temui di warung apung Singosari dan Tutug Oncom di Tasikmalaya. Tapi di kedua warung tersebut ikannya hanya dijadikan sarana rekreasi saja, sebatas untuk memancing dan hiasan.
Lain halnya dengan warung yang bernama Legane Jiwa Raga ini, ikan-ikan yang ada di sini murni untuk di budidaya. Entah untuk pembesaran atau pembenihan. Pihak pengelola warung pun tidak menjual pakan ikan seperti di warung lesehan Yogyakarta yang ada di Malang. Hal ini dapat disimpulkan memang ikan tersebut diharapkan untuk bertani saja, masalah pengunjung enjoy dengan lalu lalangnya ikan itu urusan lain.
Setelah beres menyantap mie goreng yang berstatus “barang traktiran” dan es kopi yang berstatus “bayar sendiri”, saya melanjutkan kunjungan persahabatab ke searang kawan yang memiliki rumah di Kecamatan Plosoklaten. Di tengah perjalanan yang diwarnai dengan tirunnya air hujan di musim kemarau saya menemukan realita unik. Tepat di sebuah kantor desa yang bernama kantor Desa Bangkok, Kecamatan Gurah. Hal ini mengingatkan saya ke sebuah nama kota di Thailand yang sempat menjadi tempar yang harus saya kunjungi sebelum meninggal dunia. Ketawa-ketiwi sembari bermandikan air hujan pun tak dapat terelakkan. Dalam hari berkata “Sial, kenapa saya harus berdoa dan menabung untuk ke Bangkok yang ada nan jauh di sana? Orang di sini saja ada kok”. Sebuah kesimpulan akhir yang saya petik dari perjalanan cukup panjang ini, kesimpulan akhir tersebut berbunyi “Kenapa harus menggapai yang jauh, jika yang dekat ada”. Fix kesimpulan ini sangat absurd.

0 comments:

Post a Comment