Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Sunday 28 October 2018

Sisi Lain Wisata Pindul


Menjadi sebuah dilematika bila kita menulis sisi baik dan buruk dalam satu tulisan. Maka dari itu saya menulis sisi lain dari Gua Pindul. Terlepas dari rasa betapa excited-nya saya pertama kali masuk gua pindul seperti yang saya tuliskan di artikel sebelumnya. Saya memiliki kekhawatiran yang sama dengan para penggiat alam yang pernah berteriak saat gua ini ramai.
Perusakan Secara Nyata
Tambang batu di area pindul
Tambang Batu Kapur di daerah Pindul
Pertama keberlangsungan sumber mata air yang berasal dari gua akan hilang karena rasa kapitalis. Memang tidak serta merta menyalahkan penduduk sekitar atau para inisiator. Namun setelah saya berkunjung saya melihat dengan mata telanjang banyak hal yang terkesan merusak sumber daya air dan keberlangsungan gua.
Salah satunya adalah penambangan gunung kapur yang harusnya dibiarkan saja agar beberapa serapan untuk aliran bawah tanah tetap lestari. Penambangan gunung kapur ini saya melihatnya tidak jauh dari gua, sekitar satu kilometer.
Ada pula perilaku pemandu yang menurut saya dilarang keras dilakukan. Seperti memegang ornamen gua yang masih hidup dan mengijinkan pengunjung memegangnya. Beberapa batu yang telah saya sebutkan di artikel sebelumnya adalah ornamen yang masih hidup, dalam artian masih ada aliran air dan ornamen pasti akan dapat bertumbuh. Bila dibiarkan dan tidak diganggu.
Kisah Penculikan Antar Jasa Wisata
Los pedagang di jalan menuju gua pindul
Tempat Pedagang yang sudah sepi

Menurut teman saya yang sedari kecil rumahnya di sana, ada sebuah kejadian dari mental kapitalis yang agaknya dapat menghapus rasa persaudaraan khas desa.
Ada penculikan bahkan pe-labrakan sebuah jasa wisata yang ada di sana agar mereka menutup kantornya. Intervensi demi intervensi dari pihak yang memang ingin mendapat keuntungan yang lebih besar dari legitnya wisata melulu terjadi. Kultur rasa persaudaraan yang lebih mahal perlahan akan hilang bila diteruskan.
Bukannya saya mengajak para memboikot wana wisata alam kekinian ini. Tapi pasti ada solusi untuk keberlangsungan wisata ini. Seperti adanya kolaborasi antara pemerintah desa, dusun, kabupaten atau pemerintah yang memiliki level lebih tinggi lagi. Entah kolaborasi berbentuk aksi nyata seperti edukasi kepada warga sekitar atau kolaborasi dalam bentuk payung hukum.
Setidaknya dengan memberikan pencegahan lebih dini sudah dapat mengerem dampak-dampak dari berubahnya pola pikir penduduk. Dan memberikan efek ekonomi yang kecil namun secara berkelanjutan. Bukan hanya besar hanya beberapa dekade dan selanjutnya punah.

0 comments:

Post a Comment