Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Thursday 6 August 2020

Tentang Konsumsi Pemerintah


Data Pertumbuhan Ekonomi (Sumber:BPS)


Awal agustus ini dikejutkan isu resesi di manapun, mulai orang keminter di twitter hingga emak-emak muda yang biasa posting tiktok pun juga ikut menuliskan status terkait kerisauan terhadap resesi ekonomi. Lambat laun akhirnya tanggal 5 kemarin baru saya sadar, BPS telah merilis laporan ekonomi triwulan kedua (april-juni). Hasilnya anjlok tidak karu-karuan. Hasilnya minus di sana-sini. Terlebih yang menjadi sorotan adalah PDB yang sudah merah dengan angka minus 5,32. Pantas semua orang beramai-ramai khawatir terkait kondisi ekonomi kekinian.

Tapi saya merasa ada yang klop dengan data yang diberikan oleh BPS. Terlebih bagi saya yang beberapa bulan terakhir ini bergelut dengan mekanisme pencairan APBN. Ada banyak hal yang cocok dengan hasil data BPS saat triwulan kedua ini. Terlebih terkait konsumsi pemerintah, yang beberapa hari yang lalu dikoreksi mati-matian oleh presiden. Beliau mengeluhkan realisasi yang masih dibawah 50% padahal kondisi ekonomi semakin turun. Tidak ada yang salah dengan ungkapan presiden, karena negara sebagai lembaga yang paling gendut dalam mengolah keuangan. Jika semua uang masih tertahan di dalam maka sudah dipastikan dapat berdampak ke pihak swasta.

Kemarahan presiden ini jika dicocokan dengan kondisi keuangan masing-masing unit kerja di daerah (sebagai penyalur APBN) sangatlah benar. Terlebih jika ditarik garis lurus ke data yang dihasilkan BPS. Pasalnya saat triwulan kedua itu kita biasa mulai gas realisasi. Karena triwulan pertama biasanya digunakan untuk revisi DIPA dan mencocokkan data dengan usulan DIPA yang dimiliki masing-masing unit. Alih-alih penyaluran ini sudah berjalan, malah muncul regulasi baru sebagai dampak dari wabah COVID. Mulai dari kerja dari rumah, sampai pengadaan barang dan jasa harus ditunda dahulu.

Sepertinya tiap unit masih gagap akan pergeseran regulasi ini. Sehingga ada unit penyerap anggaran yang belum dapat merealisasikan kegiatan yang sudah tertulis di rencana kerja anggaran. Seperti contohnya, saat di triwulan kedua tersebut ada aturan yang menurut saya sangat mustahil untuk dilakukan di Papua Barat. Peraturan yang berasal dari kementerian keuangan tersebut memberikan batasan penanganan pengajuan pembayaran. Satu KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) menaungi 300 unit kerja. Namun satu hari hanya dapat melayani 150 permintaan pembayaran. Aturan ini berlangsung mulai 5 Mei 2020 sampai 15 Juni 2020. Entah apa yang melatarbelakangi lahirnya aturan yang sukses menghambat realisasi anggaran ini. Sebagai perumpamaan untuk unit sekelas Universitas Papua saja, setiap harinya rata-rata mengajukan 7 permintaan pembayaran. Tapi menjadi terhambat karena mendapat kuota pengajuan tersebut.

Untungnya peraturan tersebut tidak berlaku lama, sehingga realisasi anggaran hanya tertahan sekitar 40 hari saja. Bahkan ada sebuah unit yang tidak dapat mengajukan permintaan pembayaran sama sekali, karena lagi-lagi sinyal internet yang akhir-akhir ini menjadi ujung tombak keberhasilan realisasi tidak mereka miliki. Harus turun ke kota dahulu barulah dapat mengajukan pembayaran, tapi saat mengajukan pembayaran secara online kuota penanganan KPPN untuk hari itu sudah terpenuhi.

Memang selain kendala teknis sebagai implementasi kerja dari rumah seperti yang saya sampaikan di atas ada juga kendala anggaran yang tidak mungkin terpakai saat pandemi seperti saat ini. Salah satunya anggaran perjalanan dinas yang memiliki porsi cukup besar. Tapi kembali lagi ke hasil pengolahan data BPS, dari kesulitan yang mendera hampir selama separuh triwulan tersebut berhasil mengguncang konsumsi pemerintah. Dapat kita lihat konsumsi pemerintah turun juga sebesar 6,9 persen.

Seperti yang saya sebutkan di atas, negara sebagai lembaga gendut jika konsumsinya menurun pasti akan berdampak ke sektor swasta. Jika anggaran tersebut menumpuk di Rekening Negara dan tidak lekas turun ke masyarakat pasti ada daya beli yang turun. Apakah lantas ini sebagai faktor terbesar penurunan konsumsi secara keseluruhan? Bisa jadi. Tinggal kita simak saja hasil data BPS untuk triwulan ketiga ini. Jika tetap PDB minus dan konsumsi pemerintah sudah tidak minus, berarti analogi yang saya bangun dalam tulisan ini jelas-jelas salah.


2 comments:

  1. Di level pemerintah pusat hingga ke daerah-daerah terlihat terkendala karena birokrasi yang panjang, melelahkan, dan banyak perintilan yang harus dipenuhi.

    Jika membayangkan kondisi Papu yang seperti itu, maka sangat logis konsumsi pemerintah sangat terhambat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepertinya semua daerah pada tgl tertentu memang diberikan kuota untuk mengajukan permintaan pembayaran. 🙏🏽

      Delete