Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Friday 26 March 2021

Kehilangan Karena Covid


Swab antigen
Langsung Tes Swab Antigen

Semua sudah ditakdirkan namun dalam islam masih mengenal qadha (qadla') dan kadar (qadar). Mungkin ini yang menimpa keluarga Mas Tomo. Seperti yang sempat saya ceritakan dahulu dalam catatan harian selama kerusuhan di manokwari. Mas Tomo merupakan sosok yang sangat berjasa dalam kehidupan saya selama di papua. Beliau yang memberikan tempat saat saya masih belum memiliki tempat tinggal di Manokwari, selama kerusuhan mungkin tanpa peran Mas Tomo saya akan menemukan kesulitan yang cukup berat.

Kemarin hari selasa beliau mendapat cobaan yang cukup berat, yaitu kehilangan istrinya yang sangat dicintai. Awal mula istrinya mengidap malaria, penyakit endemik papua yang cukup berbahasa ini sudah melanda tubuh mbak Mufidah selama seminggu. Namun tidak dibawa ke dokter. Hingga hari senin, kondisinya terus menurun tanpa menemukan obat yang manjur. Alhasil mbak dibawa ke rumah sakit, seperti yang sudah kita ketahui saat musim covid ini mencari rumah sakit sesulit mencari jodoh. Karena sudah tidak ada tempat lagi. Di Manokwari pun juga begitu.

Pak Heru tetangga Mas Tomo yang mengantarkan ke rumah sakit bercerita, bahwa susah mencari rumah sakit untuk menangani sakit malaria mbak Mufidah. Alhasil memakai cara "orang dalam" dan menemukan tempat untuk dirawat di RS Angkatan Laut. Sebelum dirawat tentunya di SWAB dahulu untuk menentukan calon pasien ini mengidap Corona atau tidak. Hasil SWAB ternyata reaktif. Dan ada yang bilang, Belakangan sebelum mengidap malaria beliau bersama ibu-ibu pengajian berlatih sholawat di rumah ini. Sudah Malaria terkena covid pula lengkap sudah penderitaan Mbak Mufidah.

Hari selasa, kira-kira jam setengah 5 saya mendapat telepon dari Mas Tomo sembari menangis beliau hanya berucap, "innalilahi wainnailaihi rajiun". Kalimat pendek itu pun berhasil membuat saya mengetahui bahwa mbak sudah tiada. Tanpa ada kalimat lanjutan lagi telepon pun dimatikan seketika oleh Mas Tomo. Saat itu pikiran saya mulai berkelana, apa yang harus dilakukan di situasi mencekam sepagi itu. Mau ke Rumkital (rumah sakit angkatan laut) pun juga terlalu pagi.

Selang 30 menit setelah sholat subuh saya memilih untuk menelpon kembali dan menanyakan apa yang harus dilakukan. Seperti halnya suami lain yang baru kehilangan istrinya, Mas Tomo sepertinya masih dalam kondisi terpukul. Dan menyuruh saya ke rumah sakit untuk mengambil kunci rumah dan membuka rumah duka. Tanpa berpikir panjang saya langsung menuju rumah sakit untuk mengambil kunci dan membuka rumah.

Sesampainya di rumah saya mendapati tetangga kiri-kanan sudah mulai memasang terpal dan menata kursi. Saya pun langsung membuka gerbang serta pintu rumah dan menata meja kursi persiapan untuk kedatangan jenazah. Saat itu saya masih belum mengetahui bahwa mbak ternyata dikuburkan dengan cara covid. Setelah beres semua barulah pukul 9 saya menelpon kembali untuk menanyakan jenazah ditangani di rumah atau di rumah sakit dan dijawab dengan singkat bahwa "jenazah langsung dibawa ke pemakaman, tidak mampir ke rumah." Dari sini barulah saya mengetahui bahwa jenazah memang meninggal karena corona.

Singkat cerita setelah selesai pemakaman Mas Tomo pulang ke rumah, raut sedih kecewa dan terpukul terpampang jelas di mukanya. Dengan memakai masker air mata terus menetes di wajahnya. Tak ada lagi orang yang menemani di perantauan. Anaknya pun masih di Malang, kondisi terpukul masih menyelimuti pria yang berjasa dalam hidup saya ini. Saya memilih untuk membiarkan dia meluapkan kesedihannya hingga kesedihannya pudar dengan sendirinya. Saya temani hingga semuanya pulih dan normal kembali. Sembari saya memulihkan mentalnya, saya juga bantu untuk kegiatan tahlil di masjid.

Di hari ketiga hasil tes SWAB PCR beliau keluar dan dinyatakan positif. Saat hari kedua sudah menunjukkan gejala positif memang, kondisi batuk kering yang terjadi seperti yang diceritakan imam darto saat di channel youtubenya gofar hilman. Hari ketiga sudah sangat parah batuknya, saya semakin hari semakin rajin untuk mencuci tangan. Saat hari ketiga ini Mas Tomo dijemput tim covid untuk kemudian tinggal di rumah susun PU yang difungsikan untuk mengisolasi pasien covid yang tidak terlalu parah.

Setelah beliau dibawa oleh petugas penanganan pandemi dengan mobil terios hitam, saya menyemprot kembali seluruh ruangan yang ada di rumah ini. Setelahnya saya memilih untuk SWAB antigen sebelum pulang ke kontrakan. Dan hasilnya negatif.

Tiga hari ini saya menjadi merenung kembali atas risiko terbesar saat di perantauan. Tanpa sanak famili, tanpa ada saudara yang memiliki hubungan darah. Kondisi psikis yang tidak stabil terpampang jelas di tubuh Mas Tomo. Pemulihan psikis pasca kehilangan juga tidak dilakukan oleh siapapun. Teman dekat dan tetangga dekat hanya dapat menemani saat acara pemakaman, selebihnya dia sendirian di rumah memulihkan kondisi psikis sembari telpon ke saudara yang ada di jawa. Dari sini saya menyadari bahwa sadisnya covid tidak hanya memenuhi paru-paru dengan cairan, tapi juga ada luapan kesedihan dan kehilangan pada mereka yang ditinggal pergi untuk selamanya.

0 comments:

Post a Comment