Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Wednesday 31 January 2018

Dialektika Polopendem Dan Kopi Saat Gerhana Purnama


31 januari 2018 merupakan momen berharga di Indonesia. Betapa tidak di tanggal ini ada harlah NU yang ditandai dengan foto profil teman saya berganti dengan foto dirinya dengan bertuliskan “Harlah NU Ke-92”. Kok ya kebetulan ada gerhana bulan juga tapi bertepatan dengan pertengahan bulan pada penanggalan jawa.
Merujuk dari sebuah lirik mas Didi Kempot yang berbunyi “tanggal 15 padang bulan, bulane bunder seser”. Yang berarti tanggal 15 bulan purnama, bulannya bulat penuh. Jarang-jarang juga gerhana bulan yang diimbangi dengan bulan purnama. Jadinya gerhana bulan akan terlihat lebih nyata efek bayang-bayang buminya. Alhasil semua media memilih untuk menggemparkan hal tersebut ketimbang rencana kepulangan Syaikhana Al-Mukarom Kiai Haji Habib Rizik pada Februari mendatang. Kiblat WA grup pun berpindah kiblat yang biasanya menyebarkan kebenaran mulai hadis sampai ijma menjadi sunnah yang dilakukan saat gerhana.
Diantara sunnah tersebut yaitu sholat gerhana, saya yang masih awam hanya dapat mengangkat satu alis -karena bingung- untuk memahami rukun sholat gerhana tersebut. Jadilah saya melipir tipis ke Masjid Baiturrahman setelah mendapat info dari WA grup rasan-rasan bahwa di sana mengadakan sholat gerhana.
Singkat cerita tepat saat adzan saya seorang diri -tanpa didampingi kekasih- mengayuh sepeda ke masjid. Sholat  terlaksana di sana disertai dengan dzikir seperti biasanya setelah sholat wajib. Nah ini moment yang saya tunggu, setelah sam Liamsi yang bertindak sebagai bilal meneriakkan “As-sholatu jaamiah” para jamaah pun berdiri dan sholat dimulai.
Seperti sholat pada umumnya diawali dengan takbiratul ikhrom. Namun di sini saya mulai bingung, niat apa yang harus saya ucap di sini. Secara bahasa arabnya gerhana saya masih belum tahu, hanya qomar saja yang ada di otak saya. Jadilah niat “gerhana qomar” tersebut yang saya jadikan modal untuk menghadap allah. Al-fatihah pun terlantun dari sang imam, disusul pembacaan surat pendek -setengah panjang- yang biasa di baca saat sholat jumat. Setelah rukuk, i’tidal dan membaca Al-fatihah lagi dan surat sejenis namun tak sama.
Nah disini juga ada keunikan dari sholat lumrah, karena setelah itidal di lanjut dengan membaca Al-fatihah. My big problem is apakah kita harus sendakep saat itu? Dan jawaban itu tidak saya temukan, di dalam masjid ada yang sendakep-nya pas itidal dan ada yang sendakep-nya saat Al-fatihah dilantunkan kembali. Bagi kamu yang tahu harap komen di bawah, kalau bisa disertakan dasar hukumnya juga.
Lanjut cerita setelah membaca Al-fatihah dan surat pendek dilanjut ruku, itidal dan sujud seperti sholat biasanya. Hal itu terjadi sampai 2 rokaat yang menjadi jumlah bilangan sholat gerhana. Namun pada waktu rokaat kedua surat yang dibaca menurut saya termasuk surat pendek yang biasa dibaca saat sholat di musholla. Ya pada tahu kan ya, klo sholat di musholla itu pasti memegang teguh prinsip faster is the best. Gak cukup better tapi best.
Setelah sholat usai dalam rukun sholat gerhana ada khotbah yang disampaikan oleh khatib, mirip seperti sholat Id. Jadi sholat dahulu baru khotbah berbeda dengan sholat jumat yang khotbah dahulu baru sholat. Ada keanehan yang mencolok di sesi khotbah kali ini, sang khatib ibarat artis yang manggung konser. Puluhan kamera menyorot khatib. Tak hanya kamera hp, kamera DSLR dan Handycam inventaris masjid juga menyorot. Mungkin mereka haus akan pencerahan yang terlaksana di moment yang langka ini. Sampai-sampai saya tidak mau mendokumentasikan gambar untuk tulisan saya ini. Karena saya kan orangnya anti-mainstream masak tiru-tiru kayak gitu, itu hanya sebuah alasan yang faktanya saya lupa membawa hp karena sarung saya yang tak berkantong.
Setelah dua khutbah yang telah tersampaikan, dengan tema yang gak jauh-jauh dari pdf yang sudah di-share teman-teman penghuni WA grup rasan-rasan. Tibalah waktu untuk pulang tepat pukul setengah sembilan malam. Seperti tradisi masjid ketika ada acara di luar kebiasaan pasti ada sesi makan polopendem (umbi-umbian) dan ngopi bersama. Tersedia free untuk jamaah yang hadir dan memakmurkan masjid.
Sekilas info saat malam yang harusnya bulan terlihat manis nan kemerahan, di sekitar Kepanjen hujan gerimis. Alhasil bulannya tertutup mendung seperti namaku yang sudah tertutup dengan namanya. Mendongak pun tak mungkin terlihat hanya jatuhan air gerimis saja yang menghujam. Pendek kata melihat gerhana tak dapat, berujung pada tubuh yang basah. Ujung-ujungnya saya dan puluhan ribu warga kepanjen dan sekitarnya hanya dapat menyaksikan fenomena live dari Youtube dan TV. Setidaknya sudah ada polopendem berpadu dengan kopi yang saya terima di hari ini.

0 comments:

Post a Comment