Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Thursday 2 August 2018

Aku Hanyalah Seorang Cebong yang Tertukar



Entah kenapa tiba-tiba saya ingin menulis tentang statuta saya yang non blok (tidak membela blok cebong ataupun blok kampret). Mungkin karena pada suatu masa saya sudah kesal dengan pola pikir yang cenderung bobrok ini. Bayangkan betapa tidak enaknya bila kita mencoba objektif dan ujung-ujungnya dikalungkan nama kampret atau cebong.
Seperti contoh misalnya, barusan ini tadi ada seorang yang saya follow di Twitter bilang, “Buang sampah di laut sama peledakan perahu itu sangat berbeda”. Saya pun dengan rasa penasaran yang tak terbendung bertanya ,”lha bedanya apa? Kan ya sama-sama buang dan tidak diambil”. Tanpa ada tedeng aling-aling nama kampret pun langsung mengalung di diri saya. Seakan ingin menangis dan teriak “aku tu butuh jawaban, bukan ini yang aku butuhin”.
Kasus kedua ketika saya mencoba untuk objektif menanyakan sebuah kasus. Tetap saya mencomot Twitter sebagai contoh, bukan karena di sosmed lain tidak ada agenda kumpul-kumpul, namun memang kentalnya justifikasi itu ya di Twitter ini. Saat sebuah hashtag ganti presiden melakukan aksi di depan sebuah warung yang disebut “jantung pertahanan”. Dengan rasa penasaran yang sama karena memang tidak tahu saya tanya, “lha rumahnya Jokowi di sebelah mananya mas?”. Sekali lagi saya mendapat perlakuan yang sama, nama cebong pun masuk menjadi panggilan saya dan pertanyaan saya tak terjawab.
Inti dari kedua justifikasi tersebut sepertinya sama saja, mungkin ini adalah transformasi pembungkaman zaman dahulu. Jika dahulu kritik dibungkam dengan kalimat ndak ilok dalam bahasa jawa dan pamali dalam bahasa sunda kini berganti dengan justifikasi tersebut.
Padahal ya, dalam sebuah video yang diunggah ke Youtube ada seorang ustadz bilang bahwa “dilarang nyebong-nyebongin dan ngampret-ngampretin sesama saudara”. Tapi ya sekedar angin lalu saja peringatan tersebut, bagai ultimatum NICA yang tak digubris Arek-Arek Suroboyo sebelum Agresi Militer.
Selain itu apa kedua pihak tersebut hanya memikirkan di dunia ini hanya ada dua kubu? Kalau nggak cebong ya kampret. Apa mereka belum sadar bahwa ada yang non-cebong karena kecewa dengan kinerja presiden saat ini, dan juga non-kampret yang masih belum sudi memilih sang jendral (purn) karena jengah dengan cara “kampanye”-nya. Bila hal ini disadari banyak orang yang non-cebong dan non-kampret.
Salah satunya adalah simpatisan aksi kamisan di depan istana, lha mau ndukung gimana? Janji saat kampanye untuk mengusut tuntas pelanggaran HAM sudah diblenjani. Apalagi kalau pak jendral (purn) yang jadi presiden?
Banyak pertanyaan yang belum terjawab, banyak penasaran yang belum terpecahkan. Ayolah, jangan justifikasi ketika ada yang tanya. Pun juga jangan menjadi antipati koreksi seperti itu. Bukan masalah emosi yang meletup seperti popcorn saat di-katain. Tapi ini tentang image mereka yang kalian bela dengan ngatain orang lain. Apakah akan naik atau turun?

0 comments:

Post a Comment