Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Friday 10 September 2021

Berpelesiran 275 Kilometer di Papua


 

Gunung Botak yang menyatukan gunung dan laut

Hari kamis kemarin saya mengunjungi teluk bintuni untuk pertama kalinya bersama istri. Sebelumnya saya tidak pernah berjalan sejauh ini selama dua tahun di Papua. Perjalanan jauh biasanya ke Sorong hanya perjalanan dinas saja, itupun via udara. Baru kali ini menempuh ratusan kilometer dengan menggunakan jalur darat.

Mengingat saya yang mabuk darat ini, menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan perjalanan darat. Naik mobil jauh sedikit pasti langsung kepala pusing, perut mual dan badan lemas. Saat ini perjalanan darat saya tempuh untuk melihat betapa luasnya Papua, betapa indahnya Gunung Botak yang ternyata pantai itu. Pun juga disertai niat untuk menghadiri pesta pernikahan kawan saya di Teluk Bintuni.

Perjalanan kami mulai dengan menaiki mobil Toyota Hilux Double Cabin yang dimiliki oleh teman saya. Perkiraan perjalanan akan ditempuh dalam 7 jam. Perkiraan tersebut tidak akan meleset, karena suami dari teman saya ini adalah supir Hilux Bintuni-Manokwari. Biasanya orang Bintuni jika ke Manokwari menggunakan jalur darat, alias dengan menaiki kendaraan Hilux Double Cabin ini. Mereka biasa carter satu kendaraan, atau bisa hitungan per penumpang dengan tarif lebih murah tapi jam keberangkatan dari Manokwarinya tak menentu.

Kami berangkat dari manokwari sekitar pukul 8 siang, di belakang ada tiga orang laki-laki dan di dalam ada 4 orang laki-laki dan perempuan (termasuk istri saya). Terik mentari pun saya nikmati dengan berbaring sembari merasakan pusing, meskipun kedua teman yang duduk dibelakang mulai gusar, saya memilih untuk menikmati sinar mentari siang bolong ini. Tak lupa saya memakai helm untuk melindungi kepala dari benturan bak double cabin yang agak basah karena terpal yang menjadi alas.

Hingga tibalah kami di Ransiki, ibukota Kabupaten Manokwari Selatan. Dari sini kurang lebih sudah 100 Km ditempuh. Menurut Google Map jarak Manokwari ke Teluk Bintuni sekitar 275 Km. Jadi saat kami tiba di Ransiki masih ada 175 Km lagi. Kami berhenti sejenak untuk sarapan sekaligus makan siang, karena jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. Ransiki memang sebagai tempat transit sejenak oleh sopir Hilux, karena daerah ini adalah daerah terakhir yang terkesan masih kota, selanjutnya arah Bintuni maupun Wasior hanya hutan dan jalan berkelok saja yang dilewati.

Dari Ransiki kita berjalan sekitar satu jam perjalanan sudah menemukan keindahan Gunung Botak, foto yang saya sematkan di atas ini adalah foto Gunung Botak. Yang berupa pemandangan persatuan gunung dan laut. Setidaknya sudah sekitar 3 tahun belakangan ini Gunung Botak terkenal sebagai wanawisata yang dimiliki Manokwari Selatan. Kabarnya Manokwari Selatan menggadang-gadang Gunung Botak ini sebagai sumber Pendapatan Asli Daerahnya, sehingga berani mendirikan kabupaten sendiri pecah dari Manokwari. Lambat laun juga di sebelahnya ada Pintu Angin yang juga wanawisata berbasis fotografi.

Setelah berkelak kelok dan naik turun dengan curam di Gunung Botak mobil berhenti sejenak, karena salah satu penumpangnya hendak mengeluarkan isi perut. Dan setelah berhenti itulah petualangan dilanjutkan. Sepanjang jalan setelah persimpangan ke arah Wasior kami diguncang dengan jalanan yang tak beraspal. Kata sang sopir disinilah yang biasanya saat hujan berlumpur, sehingga perjalanan ke arah BIntuni yang dapat ditempuh 7 jam saat kemarau, saat hujan bisa sampai 3 hari terjebak di kubangan lumpur. Namun untungnya di sana saat kami melintas ada pengerjaan proyek jalan, jadi dapat disimpulkan kedepannya tidak ada lagi mobil double cabin yang terjebak lumpur.

Setelah melintasi jalan proyek tersebut kami tibalah di Teluk Bintuni, kota mini penghasil minyak yang kini dikuras LNG. Bagi saya yang dulu pernah tinggal di Balikpapan, Teluk Bintuni terlampau kecil untuk kota penghasil minyak. Memang tak dipungkiri ada banyak penginapan yang dijadikan tempat singgah untuk mereka yang bekerja dilepas pantai. Namun ibarat sapi yang diperah susunya tapi tak diberikan makanan, sehingga Bintuni menjadi kota yang kurus tak memiliki gisi sama sekali.

4 comments:

  1. luar biasa mefannya untuk sampai ke bintuni sulit ya, akses jalan jika kemarau bisa 7 jam, jika oenghujan sampai 3 hari belum kalau berlumpur bisa menjebak mobil double cabin

    ReplyDelete
    Replies
    1. memang luar biasa, tapi pas saya kesana sudah mulai ada pembangunan jalan. jadi yang biasa menjebak mobil sudah tidak ada.

      Delete
  2. Papa saya dulu kerja di sana, di salah satu perusahaan LNG. Tapi skr udah pensiun. Dulu 3 Minggu kerja, 3 Minggu cuti. Saya nyesel sbenrnya ga pernah mau diajak ke Papua pas papa masih kerja di sana :(. Maklum, dulu masih belum hobi traveling mas :p.

    Tapi jujurnya memang banyak sih kota2 di mana ada sumber minyak, tapi hasilnya diserahin ke pusat semua, tidak ke daerah tersebut. Sebelum di Bintuni, papa lebih lama kerja di LNG Arun Aceh. Itu jomplang sih antara komplek perumahan karyawannya, dengan masyarakat sekitar. Bagai bumi dan langit. Ya Krn itu, keuntungannya hanya utk perusahaan, karyawan, dan pusat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wahh... memang kapitalisme kini sudah mulai merasuk di negeri ini, yang diuntungkan hanya perusahaan dan pegawainya saja. bagi warga yang sebenarnya pemilik minyak yang terkandung didalamnya malah tidak ada perkembangan lagi. selain deretan wisma yang biasa hanya sebagai tempat transit sebelum ke site.

      Delete