Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Thursday, 24 July 2025

Mendaki Budug Asu Bersama Anak dan Istri


 

Track Menuju Pos Pendakian

Awal bulan Juli 2025 saya mendaki gunung bersama keluarga, terlihat menyenangkan namun tidak dengan kenyataannya. Saya sekeluarga (anak dan istri) bersama kakak dan istrinya memilih untuk mendaki Budug Asu, terlihat sederhana namun tidak dengan kenyataannya.

Budug Asu merupakan bukit yang ada di Kecamatan Lawang, sedikit di atas kebun teh dengan ketinggian 1.422 MdPL. Biasanya untuk naik ke Budug Asu ditempuh melalui Balai Besar InseminasiBuatan (BBIB) Singosari. Warga sekitar biasa menyebut daerah ini Songsong, karena melewati desa yang bersana Songsong. Namun kemarin kami melewati jalur kebun teh (ketinggian 950 MdPL), karena kami menginap di rumah kakak yang berada di Lawang. Agar tidak harus berangkat pagi dari Kepanjen, maka kami memutuskan untuk bermalam di rumah kakak dan keesokan harinya mulai perjalanan menuju Budug Asu.

Selain karena ada keluarga yang siap menampung, kami memutuskan untuk mendaki Budug Asu karena ini pertama kalinya kegiatan di alam bebas bersama keluarga. Kami tidak ingin mencari gunung yang harus menginap semalam untuk mendakinya, karena masih pengalaman awal. Sehingga pilihan kami jatuh di Budug Asu agar dapat didaki selama seharian.

Perjalanan kami mulai jam 9 siang, dengan perkiraan sampai di atas jam 12 siang dan turun kembali jam 2 siang. Kami memulai perjalanan menuju kebun teh wonosari, dalam perjalanan yang mulai menanjak itu kami dikejutkan dengan membayar saat di gerbang masuk kebun teh. Tarif yang harus dibayar sebesar 20.000/orang, 5.000/motor, 10.000/mobil. Ini adalah konsekuensi jika mendaki Budug Asu melalui kebun teh, meskipun begitu apa boleh buat kami akhirnya membayar tarif tersebut. Selain itu konsekuensi lain adalah parkiran kebun teh hanya buka hingga pukul 16.00, sehingga jika memarkir kendaraan di sini usahakan sebelum jam 16.00 sudah sampai dan sudah diambil. Untungnya karena saya pakai baju casual dan celana pendek sehingga yang harusnya membayar 4 orang 2 motor, kami hanya disuruh membayar 3 orang 2 motor. Mungkin karena saya dikira warga lokal dengan pakaian alakadarnya dan bersandal japit swallow biru.

Setelah membayar dan memarkir motor, tanpa tertarik untuk menikmati kebun teh kami langsung menuju pos pendakian Budug Asu. Jarak dari kebun teh Wonosari menuju pos pendakian Budug Asu kira-kira 4 KM, namun karena kami melewatinya dengan santai dan versi pemula jarak ini kami tempuh dalam 3 jam. Karena jalan yang menanjak dan model track yang berbatu (makadam) sehingga dirasa melelahkan karena harus mengatur pijakan kaki yang pas agar tidak kesleo. Kondisi ini ditambah dengan saya membawa anak yang berumur 3 tahun, sehingga beberapa kali istirahat santai dibutuhkan untuk mengatur nafas penggendongnya.

Setelah dari pos pendakian kami membayar biaya masuk pendakian sebesar 10.000/orang. Dari sini kami pecah menjadi dua, saya beserta anak istri memilih jalur yang landai dan tidak dibutuhkan tali, sedangkan kakak dan istrinya memilih jalur yang menanjak tapi cepat. Maka dari itu saya memutuskan untuk beristirahat sejenak saja di pos pendakian, karena jalur kami terbilang sangat jauh memutar dibanding jalur yang menanjak.

Setelah kami berjalan sekitar setengah jam, kami menemukan jalur yang cukup menanjak namun tidak curam. Pengelola rupanya sudah menyiapkan bedengan sebagai tangga agar dapat dilalui. Saat di tangga ini anak saya jatuh dan menangis, sebagai orang tua sepertinya saya harus berhenti sejenak untuk melihat kondisi anak saya. Ternyata alasan menangisnya bukanlah karena sakit, tapi karena tangan dan bajunya kotor. Alhasil ia saya gendong terus sampai atas sembari bernyanyi playlistnya yang biasa disetel di Youtube kids.

Syukurnya setelah sekitar 15 menit berjalan, kami bertemu dengan kamar mandi umum yang bisa digunakan untuk membasuh kaki dan tangan anak saya yang kotor. Setelah itu kesedihannya sudah berangsur menghilang dan ia mulai berjalan sendiri hingga titik teratas. Sampai di titik teratas kami bersyukur sudah dapat melalui semua namun logistik masih ada di tas kakak saya, alhasil kami menikmati segarnya air minum sembari menunggu giliran foto di papan nama “puncak budug asu”. Logistik memang sengaja kami taruh di kakak karena saat saya naik di Budug Asu dulu ada warung di atas yang menyediakan mie dan minuman. Namun sepertinya warung ini hanya buka saat weekend saja, karena kami mendakinya weekday jadi warung tersebut tutup. Mungkin ini dapat menjadi pelajaran berharga dalam pendakian selanjutnya.

Hampir setengah jam kami menunggu di depan jalur yang menanjak terjal dengan tali, namun kakak saya dan istrinya tidak kunjung terlihat. Lama-lama ternyata kakak saya muncul dari jalur datar yang sudah kami lalui. Kemudian ia menjelaskan bahwa jalur menanjak itu tidak mungkin dilaluinya bersama istri, sehingga kembali dan mengikuti jalur kami yang lebih datar. Setelah pertemuan tersebut kami melakukan makan snack dan roti seadanya, namun masih terasa kurang, syukurnya ada makanan yang entah milik siapa dan berada di atas karpet. Saya berinisiatif untuk menanyakan kepada pendaki lain, dan mereka bilang tidak ada yang punya makanan tersebut namun karpet tersebut merupakan inventaris budug asu.

Tanpa menunggu lama kami pun mengangkut kripik usus, roti goreng bersama cakwe yang ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. Karena kami tidak memiliki cukup logistik yang dapat dikonsumsi. Hal ini lumrah terjadi, biasanya mereka yang membawa logistik begitu banyak akan meninggalkan begitu saja di atas untuk mengurangi beban yang dibawa turun. Sembari menikmati makanan kami bergantian melakukan sholat di mushola (depan kamar mandi). Musholanya cukup bersih dan terawat, namun mukenanya hanya ada satu dan talinya putus. Jika saya berkesempatan ke Budug Asu Insyaallah akan saya bawakan satu mukena.

Selesai melakukan sholat dan memakan kripik usus beserta roti goreng, kami memulai berjalanan turun dengan rasa syukur dan bergembira. Selain perut sudah kenyang, di perjalanan kali ini kami tidak mengalami kecelakaan apapun. Pengalaman baik ini sepertinya sepadan dengan tiket masuk Budug Asu senilai 10.000. Selain pengelolaan tempat wisata yang cukup bersih, adanya kamar mandi umum dengan air berlimpah juga cukup diapresiasi.


0 comments:

Post a Comment