Mendaki Budug Asu Bersama Anak dan Istri
![]() |
Track Menuju Pos Pendakian |
Awal bulan Juli 2025 saya mendaki
gunung bersama keluarga, terlihat menyenangkan namun tidak dengan kenyataannya.
Saya sekeluarga (anak dan istri) bersama kakak dan istrinya memilih untuk
mendaki Budug Asu, terlihat sederhana namun tidak dengan kenyataannya.
Budug Asu merupakan bukit yang
ada di Kecamatan Lawang, sedikit di atas kebun teh dengan ketinggian 1.422
MdPL. Biasanya untuk naik ke Budug Asu ditempuh melalui Balai Besar InseminasiBuatan (BBIB) Singosari. Warga sekitar biasa menyebut daerah ini Songsong, karena
melewati desa yang bersana Songsong. Namun kemarin kami melewati jalur kebun teh (ketinggian 950 MdPL),
karena kami menginap di rumah kakak yang berada di Lawang. Agar tidak harus
berangkat pagi dari Kepanjen, maka kami memutuskan untuk bermalam di rumah
kakak dan keesokan harinya mulai perjalanan menuju Budug Asu.
Selain karena ada keluarga yang
siap menampung, kami memutuskan untuk mendaki Budug Asu karena ini pertama kalinya
kegiatan di alam bebas bersama keluarga. Kami tidak ingin mencari gunung yang
harus menginap semalam untuk mendakinya, karena masih pengalaman awal. Sehingga
pilihan kami jatuh di Budug Asu agar dapat didaki selama seharian.
Perjalanan kami mulai jam 9
siang, dengan perkiraan sampai di atas jam 12 siang dan turun kembali jam 2
siang. Kami memulai perjalanan menuju kebun teh wonosari, dalam perjalanan yang
mulai menanjak itu kami dikejutkan dengan membayar saat di gerbang masuk kebun
teh. Tarif yang harus dibayar sebesar 20.000/orang, 5.000/motor, 10.000/mobil. Ini
adalah konsekuensi jika mendaki Budug Asu melalui kebun teh, meskipun begitu
apa boleh buat kami akhirnya membayar tarif tersebut. Selain itu konsekuensi
lain adalah parkiran kebun teh hanya buka hingga pukul 16.00, sehingga jika
memarkir kendaraan di sini usahakan sebelum jam 16.00 sudah sampai dan sudah
diambil. Untungnya karena saya pakai baju casual dan celana pendek sehingga
yang harusnya membayar 4 orang 2 motor, kami hanya disuruh membayar 3 orang 2
motor. Mungkin karena saya dikira warga lokal dengan pakaian alakadarnya dan
bersandal japit swallow biru.
Setelah membayar dan memarkir motor,
tanpa tertarik untuk menikmati kebun teh kami langsung menuju pos pendakian
Budug Asu. Jarak dari kebun teh Wonosari menuju pos pendakian Budug Asu
kira-kira 4 KM, namun karena kami melewatinya dengan santai dan versi pemula
jarak ini kami tempuh dalam 3 jam. Karena jalan yang menanjak dan model track
yang berbatu (makadam) sehingga dirasa melelahkan karena harus mengatur pijakan
kaki yang pas agar tidak kesleo. Kondisi ini ditambah dengan saya membawa anak
yang berumur 3 tahun, sehingga beberapa kali istirahat santai dibutuhkan untuk
mengatur nafas penggendongnya.
Setelah dari pos pendakian kami
membayar biaya masuk pendakian sebesar 10.000/orang. Dari sini kami pecah
menjadi dua, saya beserta anak istri memilih jalur yang landai dan tidak
dibutuhkan tali, sedangkan kakak dan istrinya memilih jalur yang menanjak tapi
cepat. Maka dari itu saya memutuskan untuk beristirahat sejenak saja di pos
pendakian, karena jalur kami terbilang sangat jauh memutar dibanding jalur yang
menanjak.
Setelah kami berjalan sekitar setengah
jam, kami menemukan jalur yang cukup menanjak namun tidak curam. Pengelola rupanya
sudah menyiapkan bedengan sebagai tangga agar dapat dilalui. Saat di tangga ini
anak saya jatuh dan menangis, sebagai orang tua sepertinya saya harus berhenti
sejenak untuk melihat kondisi anak saya. Ternyata alasan menangisnya bukanlah karena
sakit, tapi karena tangan dan bajunya kotor. Alhasil ia saya gendong terus
sampai atas sembari bernyanyi playlistnya yang biasa disetel di Youtube kids.
Syukurnya setelah sekitar 15
menit berjalan, kami bertemu dengan kamar mandi umum yang bisa digunakan untuk
membasuh kaki dan tangan anak saya yang kotor. Setelah itu kesedihannya sudah
berangsur menghilang dan ia mulai berjalan sendiri hingga titik teratas. Sampai
di titik teratas kami bersyukur sudah dapat melalui semua namun logistik masih
ada di tas kakak saya, alhasil kami menikmati segarnya air minum sembari
menunggu giliran foto di papan nama “puncak budug asu”. Logistik memang sengaja
kami taruh di kakak karena saat saya naik di Budug Asu dulu ada warung di atas
yang menyediakan mie dan minuman. Namun sepertinya warung ini hanya buka saat weekend
saja, karena kami mendakinya weekday jadi warung tersebut tutup. Mungkin
ini dapat menjadi pelajaran berharga dalam pendakian selanjutnya.
Hampir setengah jam kami menunggu
di depan jalur yang menanjak terjal dengan tali, namun kakak saya dan istrinya
tidak kunjung terlihat. Lama-lama ternyata kakak saya muncul dari jalur datar
yang sudah kami lalui. Kemudian ia menjelaskan bahwa jalur menanjak itu tidak mungkin
dilaluinya bersama istri, sehingga kembali dan mengikuti jalur kami yang lebih
datar. Setelah pertemuan tersebut kami melakukan makan snack dan roti seadanya,
namun masih terasa kurang, syukurnya ada makanan yang entah milik siapa dan berada
di atas karpet. Saya berinisiatif untuk menanyakan kepada pendaki lain, dan
mereka bilang tidak ada yang punya makanan tersebut namun karpet tersebut
merupakan inventaris budug asu.
Tanpa menunggu lama kami pun
mengangkut kripik usus, roti goreng bersama cakwe yang ditinggal begitu saja
oleh pemiliknya. Karena kami tidak memiliki cukup logistik yang dapat
dikonsumsi. Hal ini lumrah terjadi, biasanya mereka yang membawa logistik begitu
banyak akan meninggalkan begitu saja di atas untuk mengurangi beban yang dibawa
turun. Sembari menikmati makanan kami bergantian melakukan sholat di mushola (depan
kamar mandi). Musholanya cukup bersih dan terawat, namun mukenanya hanya ada
satu dan talinya putus. Jika saya berkesempatan ke Budug Asu Insyaallah akan
saya bawakan satu mukena.
Selesai melakukan sholat dan
memakan kripik usus beserta roti goreng, kami memulai berjalanan turun dengan
rasa syukur dan bergembira. Selain perut sudah kenyang, di perjalanan kali ini
kami tidak mengalami kecelakaan apapun. Pengalaman baik ini sepertinya sepadan
dengan tiket masuk Budug Asu senilai 10.000. Selain pengelolaan tempat wisata
yang cukup bersih, adanya kamar mandi umum dengan air berlimpah juga cukup diapresiasi.
0 comments:
Post a Comment