Demokrasi Para Perampok (Resensi Buku)
Negeri ini merupakan negeri demokrasi katanya, namun makna demokrasi hanya dinikmati oleh segelintir elit saja yang berada di atas. Sedangkan kaum akar rumput masih belum menikmati makna dari negeri demokrasi. Mbah Toto Rahardjo dan Oka Karyanto dengan culas memaknai demokrasi ini sebagai mana tajuk dalam tulisan ini. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, dengan adanya segelintir orang yang ingin menang sendiri, sepertinya mereka berdua tidak salah. Terlebih yang dipecundangi adalah para pembayar pajak.
Menjadi relevan ketika dalam
setiap bab buku ini menjelaskan satu persatu masalah negeri ini. Agar mendapat
konteks penting saya ingin menjelaskan karakter para penulisnya terlebih
dahulu. Pak Toto Rahardjo adalah aktivis tua yang saat ini masih berkecimpung
dalam pendidikan berbasis karakter bernama Sanggar Anak Alam (SALAM) di
Yogyakarta. Selain bergelut dalam pembentukan karakter sebagai penanaman nilai,
jamaah Maiyah juga mengenal beliau sebagai pentolan. Namun Namanya diganti menjadi
“Kyai Tohar”. Sedangkan Pak Oka Karyanto merupakan aktivis lingkungan hidup
yang kerap bergelut dengan hutan, latar belakang beliau adalah sebagai
akademisi di fakultas kehutanan UGM.
Dari kolaborasi mereka berdua
jelas melahirkan kritik singkat namun berdasar mengenai karakter bangsa dan
lingkungan hidup. Beberapa kondisi terkait jeleknya negeri ini dimulai dengan
cerita baik dari desa dengan kepala desa yang menolak politik uang. Yaitu Wahyudi Anggoro Hadi yang memimpin desa menggunakan hati tanpa memperdulikan gaji. Di
buku ini ia diceritakan sebagai contoh sukses pemimpin. Meskipun pada pemilu kemarin
ia mencalonkan diri menjadi wakil bupati Bantul, namun sepertinya buku ini
tidak melakukan endorse terhadapa karir politik Wahyudi.
Alih-alih menjadi ajang kampanye,
buku ini memberikan pentingnya peran desa jika dikelola dengan baik. Sumber daya
desa yang kerap dilupakan dibahas habis-habisan dalam buku ini, hingga swasembada
desa terhadap negara digambarkan begitu nyata dan terasa bagi saya sebagai
pembaca yang saat ini tinggal jauh dari Jakarta. Kebijakan-kebijakan pusat yang
keliru terhadap desa menjadikan desa tidak berdikari, sehingga terus menerus
ingin mendapatkan suapan anggaran dari pusat maupun provinsi.
Selain peran desa yang
ditonjolkan berlanjut pada karakter bangsa saat ini yang menjadi bulan-bulanan globalisasi.
Terus menerus dikondisikan sebagai penerima hutang tanpa tahu meminjam uang
untuk apa. Kerja sama ekonomi pun tak luput dari kritikan buku ini, dengan
adanya lembaga-lembaga ekonomi seakan menjadikan negeri ini kacung elit global
yang siap mengorbankan negeri beserta rakyatnya.
Peran pemerintah pula seakan enggan
untuk menghembuskan angin politik untuk membela warga negaranya. Dengan
memainkan peran yang seakan-akan membela rakyat namun melakukan pembungkaman
melalu sosial media, dengan ekstrim buku ini menyarankan negara ini untuk
menghapus demokrasi dan mengakui sebagai kerajaan. Toh dalam pemilihan yang
lalu kita mendapat pemimpin anaknya pemimpin sebelumnya dengan kualitas buruk.
Ditambah lagi berbagai gerakan untuk
memberikan kuasa pada militer kini sudah terlihat. Gelagat untuk membungkam
rakyat dengan alasan kestabilan negara mulai dihembuskan. Buku ini membahas
pula plus minusnya jika kritik dibungkam. Memang ekonomi akan berjalan lebih
stabil dan lebih bagus, namun kualitas demokrasi lebih menurun. Dengan
kesimpulan demokrasi memang tidak menjamin ekonomi akan membaik, namun dengan
demokrasi setiap kepala warga negara akan merasa diperlakukan secara adil.
Sayangnya kedua penulis ini tidak memberikan perspektif pada sisi pemerintah. Hanya mencerca bertubi-tubi tanpa mempertimbangkan prinsip tata negara. Bagi saya hal ini menjadi titik kelemahan buku ini, karena memberikan kritikan yang kurang berimbang, meskipun sebagian besar terbilang obyektif.