Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Monday, 18 August 2025

Demokrasi Para Perampok (Resensi Buku)




Negeri ini merupakan negeri demokrasi katanya, namun makna demokrasi hanya dinikmati oleh segelintir elit saja yang berada di atas. Sedangkan kaum akar rumput masih belum menikmati makna dari negeri demokrasi. Mbah Toto Rahardjo dan Oka Karyanto dengan culas memaknai demokrasi ini sebagai mana tajuk dalam tulisan ini. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, dengan adanya segelintir orang yang ingin menang sendiri, sepertinya mereka berdua tidak salah. Terlebih yang dipecundangi adalah para pembayar pajak.

Menjadi relevan ketika dalam setiap bab buku ini menjelaskan satu persatu masalah negeri ini. Agar mendapat konteks penting saya ingin menjelaskan karakter para penulisnya terlebih dahulu. Pak Toto Rahardjo adalah aktivis tua yang saat ini masih berkecimpung dalam pendidikan berbasis karakter bernama Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta. Selain bergelut dalam pembentukan karakter sebagai penanaman nilai, jamaah Maiyah juga mengenal beliau sebagai pentolan. Namun Namanya diganti menjadi “Kyai Tohar”. Sedangkan Pak Oka Karyanto merupakan aktivis lingkungan hidup yang kerap bergelut dengan hutan, latar belakang beliau adalah sebagai akademisi di fakultas kehutanan UGM.

Dari kolaborasi mereka berdua jelas melahirkan kritik singkat namun berdasar mengenai karakter bangsa dan lingkungan hidup. Beberapa kondisi terkait jeleknya negeri ini dimulai dengan cerita baik dari desa dengan kepala desa yang menolak politik uang. Yaitu Wahyudi Anggoro Hadi yang memimpin desa menggunakan hati tanpa memperdulikan gaji. Di buku ini ia diceritakan sebagai contoh sukses pemimpin. Meskipun pada pemilu kemarin ia mencalonkan diri menjadi wakil bupati Bantul, namun sepertinya buku ini tidak melakukan endorse terhadapa karir politik Wahyudi.

Alih-alih menjadi ajang kampanye, buku ini memberikan pentingnya peran desa jika dikelola dengan baik. Sumber daya desa yang kerap dilupakan dibahas habis-habisan dalam buku ini, hingga swasembada desa terhadap negara digambarkan begitu nyata dan terasa bagi saya sebagai pembaca yang saat ini tinggal jauh dari Jakarta. Kebijakan-kebijakan pusat yang keliru terhadap desa menjadikan desa tidak berdikari, sehingga terus menerus ingin mendapatkan suapan anggaran dari pusat maupun provinsi.

Selain peran desa yang ditonjolkan berlanjut pada karakter bangsa saat ini yang menjadi bulan-bulanan globalisasi. Terus menerus dikondisikan sebagai penerima hutang tanpa tahu meminjam uang untuk apa. Kerja sama ekonomi pun tak luput dari kritikan buku ini, dengan adanya lembaga-lembaga ekonomi seakan menjadikan negeri ini kacung elit global yang siap mengorbankan negeri beserta rakyatnya.

Peran pemerintah pula seakan enggan untuk menghembuskan angin politik untuk membela warga negaranya. Dengan memainkan peran yang seakan-akan membela rakyat namun melakukan pembungkaman melalu sosial media, dengan ekstrim buku ini menyarankan negara ini untuk menghapus demokrasi dan mengakui sebagai kerajaan. Toh dalam pemilihan yang lalu kita mendapat pemimpin anaknya pemimpin sebelumnya dengan kualitas buruk.

Ditambah lagi berbagai gerakan untuk memberikan kuasa pada militer kini sudah terlihat. Gelagat untuk membungkam rakyat dengan alasan kestabilan negara mulai dihembuskan. Buku ini membahas pula plus minusnya jika kritik dibungkam. Memang ekonomi akan berjalan lebih stabil dan lebih bagus, namun kualitas demokrasi lebih menurun. Dengan kesimpulan demokrasi memang tidak menjamin ekonomi akan membaik, namun dengan demokrasi setiap kepala warga negara akan merasa diperlakukan secara adil.

Sayangnya kedua penulis ini tidak memberikan perspektif pada sisi pemerintah. Hanya mencerca bertubi-tubi tanpa mempertimbangkan prinsip tata negara. Bagi saya hal ini menjadi titik kelemahan buku ini, karena memberikan kritikan yang kurang berimbang, meskipun sebagian besar terbilang obyektif.

Thursday, 24 July 2025

Mendaki Budug Asu Bersama Anak dan Istri


 

Track Menuju Pos Pendakian

Awal bulan Juli 2025 saya mendaki gunung bersama keluarga, terlihat menyenangkan namun tidak dengan kenyataannya. Saya sekeluarga (anak dan istri) bersama kakak dan istrinya memilih untuk mendaki Budug Asu, terlihat sederhana namun tidak dengan kenyataannya.

Budug Asu merupakan bukit yang ada di Kecamatan Lawang, sedikit di atas kebun teh dengan ketinggian 1.422 MdPL. Biasanya untuk naik ke Budug Asu ditempuh melalui Balai Besar InseminasiBuatan (BBIB) Singosari. Warga sekitar biasa menyebut daerah ini Songsong, karena melewati desa yang bersana Songsong. Namun kemarin kami melewati jalur kebun teh (ketinggian 950 MdPL), karena kami menginap di rumah kakak yang berada di Lawang. Agar tidak harus berangkat pagi dari Kepanjen, maka kami memutuskan untuk bermalam di rumah kakak dan keesokan harinya mulai perjalanan menuju Budug Asu.

Selain karena ada keluarga yang siap menampung, kami memutuskan untuk mendaki Budug Asu karena ini pertama kalinya kegiatan di alam bebas bersama keluarga. Kami tidak ingin mencari gunung yang harus menginap semalam untuk mendakinya, karena masih pengalaman awal. Sehingga pilihan kami jatuh di Budug Asu agar dapat didaki selama seharian.

Perjalanan kami mulai jam 9 siang, dengan perkiraan sampai di atas jam 12 siang dan turun kembali jam 2 siang. Kami memulai perjalanan menuju kebun teh wonosari, dalam perjalanan yang mulai menanjak itu kami dikejutkan dengan membayar saat di gerbang masuk kebun teh. Tarif yang harus dibayar sebesar 20.000/orang, 5.000/motor, 10.000/mobil. Ini adalah konsekuensi jika mendaki Budug Asu melalui kebun teh, meskipun begitu apa boleh buat kami akhirnya membayar tarif tersebut. Selain itu konsekuensi lain adalah parkiran kebun teh hanya buka hingga pukul 16.00, sehingga jika memarkir kendaraan di sini usahakan sebelum jam 16.00 sudah sampai dan sudah diambil. Untungnya karena saya pakai baju casual dan celana pendek sehingga yang harusnya membayar 4 orang 2 motor, kami hanya disuruh membayar 3 orang 2 motor. Mungkin karena saya dikira warga lokal dengan pakaian alakadarnya dan bersandal japit swallow biru.

Setelah membayar dan memarkir motor, tanpa tertarik untuk menikmati kebun teh kami langsung menuju pos pendakian Budug Asu. Jarak dari kebun teh Wonosari menuju pos pendakian Budug Asu kira-kira 4 KM, namun karena kami melewatinya dengan santai dan versi pemula jarak ini kami tempuh dalam 3 jam. Karena jalan yang menanjak dan model track yang berbatu (makadam) sehingga dirasa melelahkan karena harus mengatur pijakan kaki yang pas agar tidak kesleo. Kondisi ini ditambah dengan saya membawa anak yang berumur 3 tahun, sehingga beberapa kali istirahat santai dibutuhkan untuk mengatur nafas penggendongnya.

Setelah dari pos pendakian kami membayar biaya masuk pendakian sebesar 10.000/orang. Dari sini kami pecah menjadi dua, saya beserta anak istri memilih jalur yang landai dan tidak dibutuhkan tali, sedangkan kakak dan istrinya memilih jalur yang menanjak tapi cepat. Maka dari itu saya memutuskan untuk beristirahat sejenak saja di pos pendakian, karena jalur kami terbilang sangat jauh memutar dibanding jalur yang menanjak.

Setelah kami berjalan sekitar setengah jam, kami menemukan jalur yang cukup menanjak namun tidak curam. Pengelola rupanya sudah menyiapkan bedengan sebagai tangga agar dapat dilalui. Saat di tangga ini anak saya jatuh dan menangis, sebagai orang tua sepertinya saya harus berhenti sejenak untuk melihat kondisi anak saya. Ternyata alasan menangisnya bukanlah karena sakit, tapi karena tangan dan bajunya kotor. Alhasil ia saya gendong terus sampai atas sembari bernyanyi playlistnya yang biasa disetel di Youtube kids.

Syukurnya setelah sekitar 15 menit berjalan, kami bertemu dengan kamar mandi umum yang bisa digunakan untuk membasuh kaki dan tangan anak saya yang kotor. Setelah itu kesedihannya sudah berangsur menghilang dan ia mulai berjalan sendiri hingga titik teratas. Sampai di titik teratas kami bersyukur sudah dapat melalui semua namun logistik masih ada di tas kakak saya, alhasil kami menikmati segarnya air minum sembari menunggu giliran foto di papan nama “puncak budug asu”. Logistik memang sengaja kami taruh di kakak karena saat saya naik di Budug Asu dulu ada warung di atas yang menyediakan mie dan minuman. Namun sepertinya warung ini hanya buka saat weekend saja, karena kami mendakinya weekday jadi warung tersebut tutup. Mungkin ini dapat menjadi pelajaran berharga dalam pendakian selanjutnya.

Hampir setengah jam kami menunggu di depan jalur yang menanjak terjal dengan tali, namun kakak saya dan istrinya tidak kunjung terlihat. Lama-lama ternyata kakak saya muncul dari jalur datar yang sudah kami lalui. Kemudian ia menjelaskan bahwa jalur menanjak itu tidak mungkin dilaluinya bersama istri, sehingga kembali dan mengikuti jalur kami yang lebih datar. Setelah pertemuan tersebut kami melakukan makan snack dan roti seadanya, namun masih terasa kurang, syukurnya ada makanan yang entah milik siapa dan berada di atas karpet. Saya berinisiatif untuk menanyakan kepada pendaki lain, dan mereka bilang tidak ada yang punya makanan tersebut namun karpet tersebut merupakan inventaris budug asu.

Tanpa menunggu lama kami pun mengangkut kripik usus, roti goreng bersama cakwe yang ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. Karena kami tidak memiliki cukup logistik yang dapat dikonsumsi. Hal ini lumrah terjadi, biasanya mereka yang membawa logistik begitu banyak akan meninggalkan begitu saja di atas untuk mengurangi beban yang dibawa turun. Sembari menikmati makanan kami bergantian melakukan sholat di mushola (depan kamar mandi). Musholanya cukup bersih dan terawat, namun mukenanya hanya ada satu dan talinya putus. Jika saya berkesempatan ke Budug Asu Insyaallah akan saya bawakan satu mukena.

Selesai melakukan sholat dan memakan kripik usus beserta roti goreng, kami memulai berjalanan turun dengan rasa syukur dan bergembira. Selain perut sudah kenyang, di perjalanan kali ini kami tidak mengalami kecelakaan apapun. Pengalaman baik ini sepertinya sepadan dengan tiket masuk Budug Asu senilai 10.000. Selain pengelolaan tempat wisata yang cukup bersih, adanya kamar mandi umum dengan air berlimpah juga cukup diapresiasi.


Tuesday, 8 July 2025

Kelimpungan Kuliah Online




Beberapa hari ini saya cukup kelimpungan mengikuti metode belajar online-nya Universitas Terbuka. Selain karena harus mengurusi Umar yang semakin besar semakin kreatif, saya juga memiliki target untuk belajar online meskipun dapat dibuat mainan namun saya menolak untuk main-main. Setiap matakulian harus saya pelajari sebagaimana halnya orang berkuliah offline.

Mungkin memang terlalu berlebihan, namun saya berpikir jika saya bermain-main dalam kuliah maka sama saja dengan melakukan korupsi. Meskipun Mamat teman saat kuliah D3 Perpajakan yang dulu terbilang idealis dalam belajar, akhir-akhir ini mengoreksi idealismenya dengan mengatakan “Jika umur 20-an tidak idealis maka ia rugi, namun jika usia 30-an masih idealis maka ia bodoh”. Namun sepertinya kurang relevan dengan saya.

Karena saya saat ini belajar dengan surat ijin tugas belajar, dengan masih dibayar gaji dan tunjangan, alhasil saya saat ini diberikan hak oleh negara namun diberikan kewajiban untuk belajar. Maka dari itu saya belajar dengan bersungguh-sungguh. Meskipun saya akui tidaklah mudah untuk belajar tanpa guru namun hanya bermodal buku. Dalam setiap diskusi sepertinya kosong, tak ada materi apapun yang dapat saya sesap di setiap diskusi.

Diskusi ini seperti hanya bersifat komunikasi satu arah, sama seperti buku. Namun bedanya buku memberikan materi, namun dalam diskusi saya mengeluarkan materi yang saya pahami. Tidak ada bedanya dengan tugas menulis artikel. Jadi dalam kuliah online UT ada dua hal yang harus dilakukan, pertama adalah diskusi yang setiap minggunya tidak wajib dilakukan, namun jika dilakukan kita akan mendapat nilai tambahan. Diskusi ini berlangsung 8 kali dalam satu semester, sehingga setiap minggunya kita akan diminta untuk menjawab pertanyaan dalam diskusi yang diminta oleh tutor. Kedua yaitu tugas yang diberikan 3 kali dalam satu semester. Durasinya saya lupa setiap berapa minggu sekali, namun durasi pengerjaan tugas biasanya 2 minggu, berbeda dengan diskusi yang setiap minggunya akan ditutup di LMS.

Namun jika saya mengikuti diskusi ini, saya lebih dapat belajar mengenai materi yang harus dikuasai saat diskusi tersebut. Meskipun ada yang kurang pas dengan istilah diskusi, saya tetap mengikuti diskusi ini dengan tuntas dengan kondisi yang saya sebutkan sebelumnya yaitu kelimpungan. Mungkin asyik jika memiliki teman diskusi dalam sebuah mata kuliah, tapi sepertinya mustahil bagi saya yang melakukan rekognisi pembelajaran lampau. Karena saya dapat memilih matakuliah semester berapapun tanpa ada paket semester yang dijatah. Hal ini yang menyulitkan, karena saya pasti harus berpindah-pindah tingkat kelas.

Hingga saat ini saya masih belum menemukan solusi jangka pendek untuk hal ini, untuk solusi jangka panjang mungkin terbilang sedikit gila. Yaitu membuat himpunan mahasiswa jurusan administrasi publik. Selain karena mahasiswa jurusan administrasi publik ini merupakan para pekerja, sebagian besar PNS. Pun juga karena mahasiswanya tersebar dari sabang sampai Merauke, meskipun memungkinkan untuk membuat grup diskusi matakuliah, tapi dengan populasi yang sebesar itu tentu butuh sumberdaya yang besar untuk mengaturnya.

Di sisi lain saya tidak mengenal siapapun mahasiswa jurusan administrasi publik. Menjadikan ini ide gila namun patut untuk dicoba. Mungkin melempar opini ini di grup twitter/X “UT Fess” agar bisa dilakukan cek ombak. Mungkin cek ombak saja tidak cukup, dengan melakukan cek ombak saya harus melakukan tindakan-tindakan lain untuk mewujudkan teman diskusi lintas mata kuliah. Tapi apa bisa? Dan apakah mungkin dengan kondisi saat ini terseok lalu mau membuat organisasi baru? Lihat nanti saja, setidaknya saya sudah menuangkan di blog ini dan harus bertanggung jawab dalam menceritakan hasilnya nanti.

Tuesday, 8 April 2025

Koperasi dalam Konferensi


Andy Stauder dalam presentasi mengenai Transkribus di Konferensi Wikisource


Sudah lama saya mendengar bahwa koperasi di Eropa tumbuh subur. Fokus koperasi di sana juga cukup general, tidak melulu tentang koperasi sebagai dukungan finansial, namun juga meluas hingga menjadi organisasi setara perusahaan namun dijalankan dengan prinsip demokrasi.

Awal saya bersinggungan dengan koperasi dan mengenal kedalaman koperasi adalah melalui Gapatma, dengan mengusung demokrasi ekonomi (demeko), 334455 menyebarkan pemahaman koperasi tidak hanya tentang dukungan finansial sebagai koperasi simpan pinjam, namun juga melalui prinsip sebuah usaha ekonomi juga dapat dibuat demokrasi melalui koperasi. Karena prinsip koperasi yang diusung oleh bung Hatta adalah sama rasa sama rata. Sehingga tidak ada pemilik modal dan pekerja, semuanya menanggung konsekuensi dari sebuah bisnis yang diusahakan bersama. Seperti yang sudah saya ulas dalam tulisan beberapa tahun lalu.

Saat itu saya hanya mengetahui kabar melalui lisan dan sosial media saja, bahwa konsep koperasi sudah timbuh subur di tanah Eropa, hingga klub bola Barcelona juga katanya dikelola oleh koperasi. Karena memang hanya melihat dan mendengar melalui tulisan, saya masih belum 100 persen percaya. Bisa saja konsep koperasi tersebut hanya dibingkai dari luar, mirip seperti koperasi simpan pinjam di sekitaran rumah saya, yang dari penampilan koperasi namun dalamannya lintah darat. Yang tidak pernah mengajak anggotanya rapat dalam hal pengelolaan bisnis.

Hal tersebut, ternyata terbantahkan saat saya mengikuti konferensi di Bali kemarin. Salah satu presenternya adalah Andy Stauder. Seorang direktur dari Read co-op yang merupakan developer dari transkribus. Saat itu Andy mempresentasikan transkribus sebagai produk OCR tulisan tangan. Gampangannya jika kita memiliki tulisan tangan berupa PDF, transribus ini dapat membantu menjadikan tulisan ketikan. Transkribus kini bisa digunakan di wikisource bahasa indonesia hingga jawa. Untuk presentasi Andy mengenai hal ini jika pembaca tertarik dapat melihat di sini.

Terlepas dari presentasinya, saya terperangah dengan model bisnis dari Read Co-op ini. Dengan model manajemen koperasi berhasil membuat suatu usaha teknologi dengan anggota lintas negara dan juga berhasil bekerjasama dengan ratusan perusahaan. Hal ini dilandasi dengan motto "tujuan sebelum keuntungan". Agak gila juga rasanya motto tersebut, dengan mengesampingkan keuntungan namun fokus kepada tujuan, dan masih bisa jalan sejak 2019. Hal ini mematahkan asumsi bahwa yang terlalu idealis akan mati terinjak oleh mereka yang realistis.

Mungkin hal ini juga dapat ditirukan oleh usaha-usaha yang idealis di Indonesia. Dengan tetap mempertahankan idealismenya, berusaha membantu sesama dengan tetap mengusahakan bisnis tersebut tetap berjalan sebagaimana mestinya. Koperasi menjadi jalan tengah, bagaimana aksi sosial tetap berjalan beriringan dengan realitas bisnis. Bukan semata-mata hanya untuk meraih profit, namun juga untuk keberlanjutan bisnis agar tidak punah.

Memang hal ini sudah dilaksanakan di koperasi-koperasi non finansial, seperti koperasi sekolah atau koperasi pegawai. Namun gaya manajemennya masih berfokus pada bisnis, bukan pada tujuan awal koperasi terbentuk. Bahwa urusan keuangan, perhitungan profit, dan manajemen bisnis seperti biasanya harus terlaksana, memang sah-sah saja. Tapi hal tersebut hanya sebuah usaha agar tujuan tercapai dengan mempertahankan keberlanjutan koperasi.

Wednesday, 26 March 2025

Ini yang Saya Dapatkan Setelah Ikut Konferensi Wikisource 2025


Sesi Foto setelah Meetup LGBT+ saat Konferensi Wikisource (Noé, CC0, via Wikimedia Commons)

Beberapa hari kemarin saya mendapat kesempatan mengikuti konferensi wiki-wikian lagi, tapi konferensi ini berbeda dengan konferensi wiki yang sebelumnya. Bedanya adalah para pesertanya dan topik pembahasannya. Pada konferensi wikinusantara yang terlaksana di Bogor, pesertanya hanya kontributor Indonesia saja, namun konferensi yang satu ini pesertanya tidak hanya dari Indonesia. Topik pembahasannya juga saat dalam konferensi wikinusantara semua proyek yang dimiliki Wikimedia, namun saat konferensi yang akan saya ceritakan ini, topik pembahasannya hanya berkutat dengan wikisource saja.

Untuk memberikan konteks, wikisource adalah proyek wikimedia yang berfokus pada literasi. Proyek wikisource seakan ingin menciptakan perpustakaan bebas yang dapat diakses oleh siapapun. Kerja kontributor dalam proyek ini juga beragam, ada yang menyumbangkan kemampuan untuk melakukan uji-baca seperti menyematkan kode-kode yang sempat saya buat catatan, atau melakukan penambahan koleksi dengan mengakumulasi kerja-kerja kontributor tadi menjadi satu halaman utuh.

Nah dalam konferensi kemarin berbagai peserta melakukan presentasi terkait usaha-usahanya dalam berkontribusi di wikisource. Kontribusi atau usaha-usaha yang dilakukan tidak terbatas pada yang saya sebutkan di atas, namun selama bersinggungan dengan wikisource diperbolehkan untuk berbagi kisah, cerita dan kendala. Apa saja yang dilakukan dalam komunitas atau negara mereka presentasikan dengan harapan hal ini dapat diketahui orang lain dan dapat menjadi pelajaran.

Konferensi yang berawal dari rapat bulanan grup pengguna wikisource seluruh dunia ini sebetulnya dilaksanakan untuk memfasilitasi para kontributor yang telah lama tidak berbagi pengetahuan. Terakhir muncul ide untuk mengadakan wikisource di Warsawa, Polandia pada 2020. Namun ide tersebut gagal, dikarenakan pada saat akan dilaksanakan ada pandemi Covid-19 dan semua negara melarang untuk bepergian. Sebelumnya konferensi pertama terlaksana di Wina, Austria pada 2015. Jadi terhitung sudah 10 tahun para kontributor tidak berbagi pengalaman secara tatap muka.

Pada tahun ini konferensi yang diadakan di Bali pada 14-16 Februari 2025, cukup seru memang meskipun saya tidak dapat menangkap materi yang dipresentasikan secara keseluruhan. Karena kemampuan berbahasa inggris saya yang kurang fasih. Tapi kurang lebih saya dapat memetik beberapa pelajaran yang dipresentasikan di tiga hari tersebut. Seperti proses pengarsipan manuskrip nepal yang dilakukan oleh archivenepal salah satunya. Monish Singh menunjukkan perjuangan mereka dalam mendokumentasikan arsip-arsip kuno. Topografi nepal yang dilalui pegunungan tinggi ini menjadi tantangan tersendiri, dimana arsip-arsipnya membeku dan wajib untuk dijemur dahulu agar dapat dibuka dan didokumentasikan.

Kisah-kisah unik terkait pengalaman kontributor lain yang rasanya dapat menjadi bahan bakar dalam berkontribusi lebih mendalam di wikisource. Ada banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dalam proyek satu ini. Meskipun tidak mendapat upah apapun dalam berkontribusi, tapi bahan bakar ini dapat memberi pemahaman baru bagi saya yang masih belum mengetahui guna wikisource dalam keseharian. Apalagi saat konferensi ini juga saya bertemu secara langsung dengan Om Ben, seorang sesepuh yang malang melintang dalam hal perwikian. Sesi diskusi unconference pun menjadi sangat menarik saat saya bertemu kontributor lain semumpuni Om Ben.

Hal menarik lagi adalah saat saya mengikuti sesi Meetup LGBT+. Saya menangkap ada sudut pandang ketidak adilan dari para hadirin yang turut berbicara dalam kopdar tersebut. Ada Eduardo yang mengeluhkan pembatasan-pembatasan yang dilakukan pemerintahnya dalam mengekspresikan LGBT+ di Republik Dominika, selain itu ada mbak-mbak feminis yang mengamini pernyataan Eduardo dan berbagi hal tersebut juga terjadi di Perancis.

Setidaknya meskipun banyak hal yang saya bingungkan saat konferensi, tapi saya dapat mengambil kesimpulan bahwa wikisource merupakan platform yang cukup berguna bagi pelestarian arsip dan alat untuk berbagi literasi yang cukup berguna. Namun sejauh ini saya masih belum siap berdiskusi mengenai masalah teknis wikisource yang dihadapi di negara lain. Untungnya ada teman-teman Indonesia yang siap menjadi interpreter saat saya ingin menggali lebih dalam mengenai presentasi-presentasi para presenter di konferensi ini.

Saturday, 4 January 2025

Ijin Belajar Namun Belajar Online


Logo Universitas Terbuka.MP4


Sejak Oktober kemarin saya sudah mengajukan tugas belajar dan tidak bekerja seperti biasanya. Tugas belajar adalah mekanisme studi pegawai negeri yang diijinkan meninggalkan tempat kerja, alias tidak bekerja. Hal ini saya ambil karena tidak ada opsi lain untuk mendapatkan pengakuan kemampuan otak saya saat ini. Sebetulnya ada mekanisme lain, dengan belajar sembari bekerja yang biasa disebut ijin belajar. Namun kementerian tempat saya bekerja saat ini sudah menerapkan aturan baru, yang intinya selamat belajar tunjangan yang diterima terpotong 40%. Meskipun saya studi sambal bekerja, tetap terpotong 40%. Sehingga rasanya lebih baik tidak bekerja dan pulang ke Malang, itung-itung dapat memotong ongkos kontrakan.

Karena sebelumnya juga sudah sempat mengajukan ijin belajar, namun regulasi di tempat kerja terasa memberatkan. Selain cara kuliahnya yang juga disamakan dengan mahasiswa biasa. Mengurus administrasi ijin belajar juga tidak semudah perkiraan saya, sehingga lebih baik saya studi di Universitas Terbuka, sembari menikmati hidup dan belajar sebisanya. Pengalaman baru bagi saya untuk dapat belajar di Universitas Terbuka. Akademiknya terbilang dibuat sesederhana mungkin, agar yang niat belajar tetap dapat mengikuti modul yang diberikan.
Pertengahan tahun 2024 sepertinya saya mulai mencari cara bagaimana untuk dapat kuliah di Universitas Terbuka. Ternyata cukup mudah, hanya mendaftar secara daring dan melampirkan ijazah dan daftar nilai saat berkuliah D3. Karena saya alih jenjang, jadi persyaratan ini dibutuhkan. Setelah melampirkan ijazah dan daftar nilai, ada beberapa mata kuliah yang diakui. Meskipun tidak banyak, namun saya tidak mempermasalahkannya.
Setelah itu saya diarahkan untuk memilih mata kuliah yang akan diambil dalam semester tersebut. Di sinilah tagihan SPP akan keluar. Dengan menghitung jumlah SKS dan ongkos kirim modul fisik yang dikirimkan, maka muncullah jumlah tagihan yang harus dibayar. Meskipun buku tersebut dikirim ke Manokwari, angka yang dibayar cukup murah. Sekitar dua juta rupiah. Namun jika dikirim ke pulau jawa, bisa mendapat harga lebih murah lagi sampai satu jutaan. Maka dari itu mungkin bisa menggunakan trik dikirim ke jawa saja dulu bukunya, nanti dikirim dengan jastip ke luar pulau jawa. Agar mendapat diskon ongkos kirim yang lumayan.
Setelah menunggu beberapa bulan, maka mulailah masa kuliah. Kemarin masa kuliah dimulai bulan Oktober hingga Desember. Saya memilih kuliah dengan jenis tutorial online, dalam tiga bulan ada 8 pertemuan seminggu sekali. Jadi seperti modul belajar online yang diberikan waktu dalam menyelesaikan modul beserta tugasnya. Dalam sekali pertemuan kita diberikan materi diskusi dan sesekali diberikan tugas. Selain itu juga kita diberikan semacam kuis dengan 5-10 pertanyaan.
Belakangan saya mengetahui bahwa selain tutorial online juga ada cara belajar lain, tidak diwajibkan membuka materi secara online namun diberikan tugas dan wajib mengumpulkan dalam waktu yang sudah ditentukan. Bedanya hanya tidak ada materi pengantar dan tidak ada diskusi yang dapat kita baca. Hanya mendapat pertanyaan untuk tugas dan mahasiswa dapat mencari jawabannya di buku modul yang sudah dikirim sebelumnya.
Yang paling berkesan adalah cara ujiannya. Ujian dibagi menjadi 3 cara, pertama ujian tatap muka dengan mengisi pilihan ganda di lembar jawaban dengan pensil 2B, kedua ujian online dengan mengisi pilihan ganda di computer, ketiga dengan mengunduh tugas dan wajib dikumpulkan 6 jam setelah jam mengunduh tugas tersebut. Ini yang membuat saya terkesan dengan manajemen Universitas Terbuka. Seakan memberikan kebebasan untuk belajar, namun tetap dengan tahap pengujian. Dan Ujian ini dilakukan di seluruh Indonesia. Keteraturan ini yang membuat saya takjub, apalagi dengan adanya mekanisme pindah tempat ujian yang seakan memberikan keleluasaan.
Mungkin Universitas Terbuka ini memang mendesain kurikulum yang sangat fleksibel, dengan ujian yang tertata sedemikian rupa. Namun meski fleksibel saya juga cukup kalang kabut dalam mengikuti tutorial online. Ada buku tebal yang harus rampung saya sesap, dan ada tumpukan tugas yang harus selesai tepat waktu.

Tuesday, 18 June 2024

Wikinusantara: Ajang Kumpul Kontributor Wikimedia Se-Indonesia


Foto Anggota Komunitas Wikimanokwari


Kemarin saya berkesempatan menghadiri konferensi Wikimedia Indonesia, bertajuk wikinusantara. Karena ini kali pertama saya menghadiri konferensi, mungkin ini pengalaman baru bagi saya. Bertemu orang-orang ikhlas yang mengabdikan dirinya untuk Wikimedia. Kebanyakan yang datang kontributor-kontributor muda. Anak kuliahan, tapi tak jarang pula ada ibu-ibu dan bapak-bapak yang usianya lebih tua dari saya. Kurang lebih yang mendatangi konferensi ini ada 50 orang, termasuk panitia yang merangkap menjadi peserta.

Katanya wikinusantara kali ini beda dengan wikinusantara sebelumnya. Karena wikinusantara kali ini durasi harinya lebih Panjang, di hari pertama dan kedua ada photowalk. Sejenis jalan-jalan ke sekitar bogor dan dipandu dengan guide lokal. Saya membayangkan betapa suntuknya jika kita diundang ke sebuah acara, hanya acara di dalam ruangan selama beberapa hari. Mungkin jika seperti saya, yang menjadi pengalaman pertama, tidak terlalu suntuk. Karena masih excited dengan pengalaman pertama. Namun jika sudah mengahadiri acara ini beberapa kali, mungkin akan berbeda lagi ceritanya.

Kami menghadiri konferensi ini dari Manokwari ada empat orang, termasuk saya dan istri. Ringkasan acara dari konferensi ini adalah pertemuan untuk mendengarkan pengalaman-pengalaman dari kontributor lain dalam berkontribusi. Banyak hal yang kami bicarakan di sana, kebanyakan karena kita biasa bertemu secara daring, jadi kami berbagi berbagai cerita dalam berbagai proyek yang kami jalan kan.

Mulai dari bagaimana kami menjalankan komunitas, bagaimana membangun komunitas di kampus, bagaimana mendapat pendanaan dalam menjalankan program, bagaimana sudut pandang masing-masing kontributor terhadap Wikimedia Indonesia (sebagai Yayasan yang menaungi proyek-proyek yang ada di Indonesia), hingga kami berbagi tentang proyek-proyek yang sedang dan sudah kami lakukan.

Dari sekian materi presentasi, saya sendiri sangat tertarik mengenai presentasi-presentasi yang bermuara pada sumber dana. Selama ini yang kami ketahui hanya ada satu sumber pendanaan untuk berbagai proyek Wikimedia. Namun kemarin Faishal dari Banjarmasin menjelaskan ada sumber pendanaan yang fokus pada proyek-proyek berbasis bahasa. Entah itu pada pelestarian bahasa atau menjadikan proyek Wikimedia sebagai alat untuk melestarikan bahasa. Nama sumber pendanaan itu adalah WikiTongues, ada banyak kontributor Indonesia yang mendapat pendanaan dari sini. Mungkin hal ini dapat menjadi bekal untuk komunitas saya di Manokwari yang merencanakan memiliki kamus bahasa Biak.

Namun dari kehadiran saya kemarin menemui hal yang sangat mengenaskan, tidak semua kontributor hanya ingin bermanfaat untuk sesame, tapi juga memiliki misi-misi ekonomi (memperkaya diri sendiri). Mungkin untuk saya yang sama sekali tidak memikirkan bahkan tidak memiliki niat untuk kaya dari Wikimedia, sangat mengenaskan menemui fakta ini. Karena jika mereka hanya memikirkan uang, maka potensi-potensi kerjasama yang tidak seksi secara ekonomi akan tertutup.

Hal ini tentu lumrah dan manusiawi, tidak ada manusia yang tidak melihat segala hal dari materi. Karena memang uang yang mengucur dari Wikimedia foundation terlihat banyak dan sangat mudah untuk mengeluarkannya. Namun apakah pantas untuk diperlakukan seperti itu? Tentu jawabannya dikembalikaan ke masing-masing pelaku. Dan saya sebagai salah satu pelaku yang mewakili sudut pandang saya sendiri tidak dapat memaksakan pemahaman ini kepada siapapun.

Semoga saja para pelaku akan selalu ikhlas dan tidak mengincar apapun dalam sebuah keikhlasan tersebut.