Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Monday 3 October 2016

Melihat Satu Suro Dari Sisi Lain Gunung Kawi


Hari ini saya berkesempatan untuk melihat perayaan satu suro di gunung kawi. Banyak yang menyangka perayaan satu suro digunung kawi tersebut memiliki kesan wingit atau serem. Tapi jika anda menuju kesana kesan tersebut hanyalah bullshit yang selalu didengungkan oleh beberapa orang. Nyatanya hari ini saya disini menemukan kesan yang sebaliknya, kesan wingit tersebut seakan tertutup oleh beberapa perayaan yang di adakan di wilayah pesarean.

Acara pertunjukan barongsai yang dilaksanakan di kuil dewi kwan im merupakan acara pembuka yang dilaksanakan oleh etnis tionghoa. Selain pertunjukan barongsai di padepokan/ rumah eyang jugo juga mengadakan pertunjukan wayang. Seakan di gunung kawi ini tidak ada sekat etnis pertunjukan tersebut tidak membatasi lintas etnis untuk melihat. Orang jawa boleh melihat barongsai dan juga sebaliknya. percampuran budaya seperti ini yang sangat jarang kita lihat di kehidupan biasa.

Selain kedua acara tersebut juga masih ada acara napak tilas eyang jugo yang dikemas dengan jalan kaki dari desa jugo kecamatan kesamben kabupaten blitar ke pesarean gunung kawi ini. menurut kabar yang beredar napak tilas ini diikuti oleh 1650 an. Para peziarah menempuh perjalanan 8 jam dimulai dari jam 4 sore dan sampai pesarehan gunung kawi pada tengah malam. Perjalanan kaki mereka cukup ekstrim selain perjalanan pada malam hari juga di warnai dengan guyuran hujan yang lumayan deras. Bayangin aja malem-malem ujan deras terus ke dataran tinggi lagi gak kebayang dinginnya kayak apa. Namun mereka tetap menempuh perjalanan itu, selain itu juga peziarah ini juga sebagian besar anak muda. Menurut saya ini adalah kemasan pembelajaran sejarah yang sangat unik, tak hanya diatas kertas namun langsung action dengan menempuh rute perjalanan puluhan kilo meter.

Ketiga acara tersebut dilaksanakan di malam hari, dan ada satu acara lagi yang dilaksanakan pada siang hari yaitu acara pawai budaya yang memang rutin dilakukan. Seperti halnya pawai malam suro di ponorogo, surakarta dan berbagai hal lain pawai ini juga memiliki esensi. Tujuan dari pawai malam satu suro disini yaitu untuk membuang berbagai macam kesialan. Pawai tersebut dikemas dengan pawai ogoh-ogoh atau patung raksasa, Ogoh-ogoh ini mewakili kekuatan jahat. Setelah diarak keliling desa, ogoh-ogoh ini dibakar di tempat finish. Hal ini memiliki esensi dan pengharapan agar beberapa kesialan yang menyelinapi desa dapat musnah seperti halnya ogoh-ogoh tersebut.


Selain ke empat acara tersebut kita juga dapat menikmati berbagai makanan yang di jajakan oleh penjual pada kiri kanan jalan menuju makam. Seperti layaknya basar yang diadakan untuk etnis jawa dan tionghoa di bazar ini anda juga dapat membeli berbagai hal yang memiliki hubungan dengan kedua etnis tersebut. Mulai kaset cd gending jawa dan lagu tionghoa, sampek penutup kepala khas jawa atau blangkon dan juga topi merah yang biasa dipakai etnis tionghoa. Keren kan? Kalau anda merayakan satu suro di tempat lain mungkin gak akan menemukan fenomena seperti ini. 

Galeri Foto
Pintu Masuk Menuju Pesarean
Kuil Dewi Kwan Im

Pintu Masuk Padepokan/Rumah Tinggal Eyang Jugo
Penjual Disepanjang Jalan Menuju Pesarehan

Pagelaran Wayang Semalam Suntuk Di Padepokan

Bazar Malam

Penjaja Makanan Chinese dan Jawa
Peziarah Membeli Bunga

Deretan Penjual Bunga di Dekat Pesarehan

0 comments:

Post a Comment