Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Friday 2 April 2021

Beragama yang Berbahaya


Surat wasiat teroris
Surat wasiat dari teroris untuk keluarga


Minggu kemarin ada peledakan bom bunuh diri di depan gereja katedral. Hari minggu merupakan hari untuk beribadah bagi umat kristiani. Mungkin sang teroris memang menyasar momen tersebut. Untuk memberikan teror pada umat kristiani. Di dalam cctv juga tergambar jelas sang peneror memakai busana muslim dalam melakukan terornya.

Selang Tiga hari tepatnya hari rabu terjadi pula penembakan. Sebetulnya bukan penembakan sih, tapi lebih tepatnya aksi bunuh diri dari seorang yang ingin dianggap teroris. Karena penyerangnya juga hanya memakai pistol dan yang diserang markas besar polisi. Mendatangi markas besar polisi dengan pistol hanyalah aksi bunuh diri. Namun hal ini menurut berita berhasil disebut sebuah aksi teror karena berhasil menghadirkan ketakutan. Wanita muda belia ini dilumpuhkan hingga tewas hanya sampai di depan pos penjagaan. Tak heran memang, karena hanya bersenjata pistol gagal merangsek masuk markas berisi ribuan polisi dengan senjata lengkap merupakan kelumrahan.

Yang menarik bukan aksi terornya yang terjadi dua kali dalam seminggu. Tapi yang melatarbelakangi mereka melakukan aksi teror. Karena selang beberapa hari mulai beredar surat wasiat dari peneror yang melepaskan 6 tembakan di markas besar polri. Surat wasiat tersebut berisi permohonan maaf dari mbak-mbak berkerudung biru ini.

Tak hanya berisi permohonan maaf, tapi juga ada kesan bahwa sang peneror sudah kalah dengan kerasnya kehidupan. Surat tersebut diawali dengan permohonan maaf karena tidak dapat membalas kebaikan orang tuanya. Berlanjut dengan memberikan jastifikasi terkait tata kenegaraan yang terkesan digagas oleh pemerintahan yang sesat dan tidak sesuai dengan agama islam. Dalam secarik surat yang berisi dua halaman itu juga ada pesan untuk para keluarga agar beribadah dan meninggalkan hal yang sekiranya mendatangkan dosa.

Dari sini saya bisa belajar, betapa berbahayanya jika separuh-separuh dalam beragama. Ingin fokus beragama dengan mempermasalahkan agama lain akan menjadi beban tersendiri. Kira-kira dalam surat tersebut sang peneror seakan mempermasalahkan kekayaan orang lain yang tidak teguh dalam beragama. Yang lain beragama dengan sekenanya tapi kok malah kaya? Sedangkan dia sendiri beragama dengan teguh tapi kok malah gagal membahagiakan orang tua. Seakan sang penulis merasa bersalah atas keteguhan beragamanya sendiri.

Alhasil ada pemikiran lain yang masuk dan ada kemungkinan menjadikan sang peneror menjadi eksklusif jadilah penyerangan yang terkesan bunuh diri tersebut dilakukan. Korbannya tidak seberapa malah sang penerornya yang terbunuh. Yang untung ya yang menanamkan ideologi. Sang penanam ideologi sudah untung besar, karena berhasil meracuni orang hingga melancarkan aksi teror.

Maka dari itu marilah kita beragama dengan lurus, hingga kita takut menyakiti umat beragama lain. Tanpa pemikiran seperti ini bisa-bisa malah kita terjebak dalam tingkat eksklusifitas beragama. Sehingga kita menjadikan kematian adalah hal biasa, apalagi saat kita menjadi kaum yang kalah dalam mengarungi kerasnya kehidupan. Sang peneror ini dapat kita jadikan contoh betapa berbahayanya keinginan untuk menjadi pemenang.

Alih-alih agama menjadikan sebagai penenang, malah kita jadikan ajang untuk berkompetisi menjadi pemenang. Rasa untuk menggenggam kejayaan menjadi hal yang nyata. Tidak memiliki harta malah merendahkan mereka yang berkelindan harta. Sehingga keikhlasan dalam menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya menjadi kegamangan tersendiri.

0 comments:

Post a Comment