Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Sunday 1 August 2021

Menikah di Musim Pandemi


foto akad


Ternyata susah juga menikah di musim pandemi, bayang-bayang gagal nikah sewaktu-waktu dapat menerkam. Bukan karena calon pasangan dibawa kabur orang, tapi dikarenakan protokol penanganan yang dapat sewaktu-waktu berubah. Awalnya sama sekali tidak diijinkan menikah, bisa saja pada sore hari tiba-tiba pejabat berpidato mengijinkan menikah dengan penerapan protokol kesehatan. Di musim pandemi ini cenderung akan labil.

Tepat seminggu yang lalu saya melangsungkan pernikahan dengan sangat sederhana. Perkiraan hanya berlangsung empat jam. Dimulai dengan prosesi akad nikah yang berlangsung di teras rumah, karena pihak KUA memang mensyaratkan hal itu. Mungkin karena kepala KUA-nya ingin berjaga-jaga, jadi yang berada di dekat meja hanya boleh enam orang saja. Kedua mempelai, dua saksi, wali dan penghulu. Selain itu harus berada di luar area akad, kurang lebih berjarak dua meter.

Selesai melangsungkan akad langsung beralih ke prosesi temu, seperti yang saya ceritakan di artikel:Covid-19, PPKM Darurat dan Temu Manten. Ternyata ada solusi juga. Prosesi temu tetap diijinkan pihak desa, karena memang yang menghadiri pesta pernikahan kami hanya terbatas, sehingga perangkat desa hanya memantau hingga akad saja. Selebihnya mereka tidak memantau. Namun prosesi temu ini kami adakan di dalam rumah. Selain untuk menepis rasa curiga oleh tetangga sekitar, pun juga kami ingin menghormati perangkat desa yang melarang ada gerombolan. Meskipun dalam rumah rupanya bapak dan ibu mertua dapat menerima, jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Setelah kedua prosesi sakral tersebut selebihnya hanya foto-foto dengan dekorasi seadanya. Karena sang istri ingin ada prosesi foto, nikah hanya sekali seumur hidup katanya. Tapi biarlah, toh tidak ada protes dari warga dan perangkat desa, sekali lagi hanya karena dekorasi tempat berfoto tidak terlihat dari luar. Ternyata mudah juga menerapkan protokol kesehatan saat menikah, hanya memakai masker dan sering-sering mencuci tangan. Meskipun ada bedak dan lipstik yang menempel di masker medis, setidaknya ini adalah jalan tengah dari keluh kesah yang kemarin sempat saya tulis. Semua permasalahan dapat terselesaikan dengan singkat dan tepat.

Perkiraan yang datang di pernikahan saya kemarin kurang dari lima puluh orang, dari pagi hingga malam hari, format acaranya pun hanya bertamu seperti saat hari raya. Ada yang datang di jamu dengan obrolan singkat, lantas makan. Begitu hingga seterusnya, uniknya pernikahan kemarin adalah kami sang mempelai tidak wajib mengajak ngobrol dan tidak wajib menyalami satu-satu. sekitar pukul 12 kedua mempelai sudah lepas baju pengantin, jadi tidak harus standby seperti halnya pernikahan biasanya.

Entah saya malah bersyukur menikah di masa pandemi, lebih simpel tidak menguras tenaga dan juga sangat cocok bagi saya yang suka gerah memakai baju pengantin. Acara simpel seperti ini justru memberikan dampak yang mewah bagi saya. Dengan tidak meramaikan acara malah dapat mendapatkan kesakralan acara itu sendiri. Karena sesungguhnya kemewahan acara bukan terletak dari besar atau kecilnya acara tersebut, tapi dari permaknaan acara tersebut.

2 comments:

  1. Wah pengantin baru nih mas Nurohmah, selamat menempuh hidup baru ya.

    Memang pernikahan saat ada covid itu agak ribet, karena harus jaga protokol kesehatan plus juga jangan ngundang banyak tamu. Biasanya disini ada petugas yang patroli, tapi kalo sesuai prosedur tidak apa-apa sih

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas terimakasih, disini kemarin malah perangkat desa hadir untuk memantau dan memastikan protokol kesehatan memang terlaksana.

      Delete