Resensi Film Sabaya
Ilustrasi Sabaya (Courtesy of Sundance Institute) |
Semalam saya dan istri menghabiskan malam minggu dengan
menonton film dokumenter setelah sebelumnya merampungkan film Cokroaminoto. Karena
sebelumnya saya meminjam akun mola tv teman untuk menonton De Oost, tapi malah
keterusan menonton Cokroaminoto. Tapi dasarnya memang kita berdua bukan
penonton yang baik, jadi mudah bosen setelah satu jam film berputar. Jadinya kami
berdua menghabiskan film dalam dua ronde.
Namun kali ini saya ingin mengulas film dokumenter yang
berjudul Sabaya. Masih ada kaitannya dengan opini saya sebelumnya, yang
mengkritisi aksi Taliban. Sabaya adalah korban kejahatan dari ISIS, dalam film
dokumen yang memenangkan berbagai festival film dokumenter tersebut diangkat
seorang tokoh bernama Mahmud. Dengan modal telpon genggam dan pistol saja Mahmud
bersama teman-teman organisasi Rumah Yazidi tersebut mencoba menyelamatkan
wanita Yazidi dari ISIS.
Yazidi adalah sebuah etnis yang ada di Irak yang beragama
Yazidi. Nah agama non muslim ini yang kemudian dijadikan sasaran kejahatan
ISIS. Dengan dalih mereka non muslim, maka etnis satu ini berhak menjadi budak
ISIS. Perempuan-perempuan Yazidi dijadikan budak nafsu yang disebut Sabaya.
Sabaya tersebut biasa diselundupkan oleh perempuan ISIS yang berstatus sebagai
Germo. Setiap serangan kepada Yazidi mereka pasti menyisakan perempuan-perempuan
itu untuk dibagikan sebagai harta rampasan, dan setelah dinikmati tubuhnya
kemudian dijual kepada germo yang dalam film tersebut membaur di kamp Al-Hol.
Film dokumenter ini lebih ke arah membuka fakta bahwa ternyata
negara islam tidak terlalu islam juga, sekat antara perzinahan dan jihad terlampau
tipis. Sehingga para Yazidi yang diberikan label kafir tersebut dapat
diperlakukan semena-mena. Ada pula sesama perempuan yang sampai hati menjual
mereka, karena memang sudah dilakukan cuci otak agar memperlakukan kaum kafir
dengan tidak manusiawi.
Ada fakta baru yang saya lihat dalam film dokumenter ini,
yaitu masih adanya polisi yang menjadi musuh dari ISIS. Polisi ini menjadi
pelindung dengan asas demokratik, sehingga seperti ada di daerah konflik antara
polisi demokrat dan ISIS. Sedangkan Mahmud tadi berangkat dari jalur independent,
yang non profit. Organisasi ini mempunyai
orang dalam yang diselundupkan ke kamp Al-hol. Mereka berkomunikasi dengan
Mahmud untuk mencari beberapa wanita Yazidi yang dijadikan Sabaya.
Yang sampai film rampung itu belum jelas adalah peran kamp Al-hol.
Jika kamp tersebut didirikan oleh ISIS mengapa Mahmud dengan mudahnya keluar-masuk
kamp untuk mencari perempuan Yazidi. Pun juga jika kamp tersebut didirikan oleh
pihak demokratis, mengapa ada perempuan-perempuan ISIS bebas memperjual belikan
Sabaya. Kamp tersebut tidak mirip dengan rumah, buktinya saat penjemputan
wanita Yazidi ada beberapa tenda yang kosong karena pemiliknya sudah kabur. Seperti
tidak ada pakaian yang dibawa leh pemilik Kamp. Sejauh pengamatan saya, mungkin
ini adalah kamp pengungsian saja yang didirikan oleh PBB, karena ada tenda yang
berlabel UNHCR.
Dimasa yang mulai menghangat ini sepertinya wajib untuk menonton
sekaligus mempelajari bagaimana timur tengah berjibaku dengan idealisme agamanya.
Agar dapat mempelajari bagaimana pencapaian negara yang mengedepankan agama
dengan permusuhan. Dari Sabaya kita dapat melihat korban keganasan dari orang
beragama. Ada remaja puluhan tahun yang dipaksa untuk melayani puluhan lelaki,
ada keluarga yang kehilangan saudaranya, serta ada kewarasan yang dilanggar
tidak karuan. Tak tahu ujung dari pergerakan tersebut apa. Agar kita tetap
berpikir lagi risiko terberat jika ingin berkonflik dan memecah belah bangsa.
0 comments:
Post a Comment