Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Friday, 24 October 2025

Pengalaman Pertama Rawat Inap, Langsung di Dua RS


memakai selang oksigen meskipun tidak sesak


Saat awal bulan September ini merupakan pengalaman pertama saya di rawat di rumah sakit. Jadi ceritanya sesaat setelah gerak jalan perayaan hari kemerdekaan yang diadakan pemuda karang taruna di kampung, saya terserah penyakit demam berdarah. Sesaat setelah pengundian hadiah selesai, badan saya meriang dan menggigil. Awalnya saya kira karena kecapekan karena durasi menunggu hadiah yang terlampau lama, mulai pukul 8 pagi hingga pukul 2 siang. Ditambah saya mendapat titipan untuk “menjaga” nomor kakak saya, sehingga kupon undian yang harus saya pegang cukup banyak. Sehingga konsentrasi saya cukup terperas untuk mengecek setiap nomor yang dipanggil, akan tetapi yang muncul banyak malah kupon-kupon titipan. Milik saya sendiri malah Cuma mendapat 3 hadiah hiburan.

Karena hal tersebutlah saya menyimpulkan, mungkin saya hanya stres karena sudah mencurahkan semua konsentrasi namun hanya mendapat sedikit hadiah. Namun setelah tiga hari menggil, kondisi tubuh saya tidak segera pulih. Badan masih lemas, kepala masih pusing, setiap malam juga masih menggigil kedinginan dan suhu badan juga panas. Maka saya periksa ke klinik Nusantara yang merupakan faskes 1 dalam kartu BPJS. Dokter memberikan obat saja, tidak dilakukan cek lab. Saat itu dikarenakan alat labnya rusak, sehingga diberikana parasetamol dan anti biotik saja. Saat kunjungan pertama ini sempat ditawarkan rawat inap, namun entah mengapa saya menolak tawaran yang kemudian saya ambil tersebut.

Setelah tiga hari semenjak kunjungan ke klinik tersebut, penyakit saya tidak kunjung sembuh. Parasetamol sudah habis, pun juga antibiotik. Sehingga saya diajak untuk memeriksakan kondisi ke dokter. Saat itu istri sudah bilang, “kalau disuruh rawat inap, bilang mau saja” tanda bahwa orang rumah sudah siap jika saya opname di klinik tersebut. Singkat cerita, saat diperiksa dokter (yang berbeda dengan dokter saat kunjungan pertama) saya ditawarkan untuk ngamar di klinik ini. Tanpa berpikir panjang saya menganggukkan kepala tanda saya menyanggupinya.

Maka dari itu diuruslah administrasi oleh bapak saya yang saat itu mengantar saya. Saat pengurusan administrasi ada hal aneh yang ditanyakan oleh bagian administrasi. Yaitu “apakah bersedia dirawat minimal tiga hari?”, jika kurang dari tiga hari pulang dengan kemauan sendiri maka tidak ditanggung BPJS. Saya iyakan saja agar cepat tidur kasur, namun bapak saya yang merasa itu ganjil menanyakan kepada temannya yang bekerja di BPJS Kesehatan. Dan sialnya teman bapak saya langsung menanyakan hal yang menurut saya kurang penting tersebut ke pimpinan klinik. Alhasil keesokan harinya bagian public relation klinik ini mengunjungi saya dan menyatakan permohonan maaf atas ketidakjelasan informasi tersebut.

Terlepas dari ketidakjelasan informasi yang merupakan kelemahan klinik ini, saya merasa nyaman dengan perawatan saya di klinik Nusantara ini. Selain karena bentuk ruang rawat inapnya yang seperti losmen, pelayanan dan makanannya tidak seperti di rumah sakit. Sehingga saya serasa berlibur dan tiduran di penginapan. Ditambah lagi saat saya masuk ruangan, keesokan harinya pasien selain saya sudah pulang. Sehingga satu klinik hanya saya yang melakukan rawat inap, selebihnya rawat jalan mulai pukul 8 pagi hingga 8 malam.

Saya mendapatkan perawatan di klinik ini selama dua malam saja, pada waktu di rawat saya divonis mengidap sakit demam berdarah. Setelah menginap dua malam saya dikunjungi dokter dan dibilang terlihat kuning. Dokter tersebut mencurigai saya mengalami kelainan fungsi hati (hepatitis), sehingga saya dirujuk pindah ke rumah sakit. Rumah sakit tempat rujukan tersebut juga terbilang kurang familiar bagi saya yang terbiasa mengunjungi rumah sakit besar seperti RS Wava Husada atau RSUD Kanjuruhan.

Awalnya dokter tersebut merujuk saya ke RS Hasta Husada, yang terletak kurang dari satu kilometer dari klinik dan rumah. Namun karena di sana setelah dihubungi ternyata penuh, maka rujukannya pun diubah ke RS Ben Mari. Jaraknya pun cukup jauh, lebih dari 10 kilometer dari rumah. Seumur hidup saya tidak pernah berkunjung untuk rawat jalan ataupun membesuk teman di rumah sakit ini.

Tapi karena saya tidak memikirkan jarak maupun jenis rumah sakitnya, sayapun mengiyakan rumah sakit tersebut sebagai tempat ngamar saya berikutnya. Singkat cerita saya dibawa ambulan dan masuk ke UGD rumah sakit tersebut. Dari observasi dokter UGD saya dinyatakan sakit paru-paru. Hal ini dikarekanakan hasil foto rontgent saya terlihat beberapa flek di paru-paru. Entah ini flek asap rokok atau memang penyakit, tapi dari hasil foto tersebut yang menghasilkan saya dicurigai TBC.

Padahal saya sudah lama tidak merokok, namun masih sering berinteraksi dengan perokok maupun asap knalpot. Selain hasil foto rontgent, saat dibawa ke rumah sakit tersebut saya juga batuk-batuk cukup parah. Padahal sebelum saya opname di klinik nusantara, saya tidak batuk sama sekali. Mungkin saya tertular batuk di klinik nusantara, pikir saya. Namun setelah diobservasi lebih lanjut melihat nafas saya, ternyata saya cukup ngos-ngosan. Menurut mbak-mbak perawat yang menghitung nafas saya, manusia pada umumnya mengambil nafas 20 kali dalam semenit, tapi saya bernafas 30 kali dalam semenit. Sehingga disimpulkan saya mengalami gangguan pernafasan di paru-paru.

Setelah mendapatkan hasil observasi maka saya diantar ke ruang isolasi. Awalnya saya pikir akan disini sementara saja, mungkin semalam saja sudah pindah ke ruangan pada umumnya yang dalam satu kamar ada beberapa pasien. Ternyata setelah saya tanyakan ke perawat, saya akan disini hingga sembuh, karena saya dicurigai TBC sehingga tidak sebebas pasien lain. Setidaknya itu yang saya rasakan saat mendapat perawatan di ruangan tersebut.

Namun kenyataanya beda, saya bebas dikunjungi siapapun, bebas menikmati sinar matahari pagi sembari melakukan peregangan, bebas berjalan sambil membawa cairan infus keliling rumah sakit. Seperti di klinik nusantara, saya sangat happy mendapatkan perawatan di rumah sakit ini. Desain bangunannya yang tidak terlalu sumpek seperti rumah sakit besar yang saya ketahui, membuat saya enjoy menjalani masa penyembuhan di sini.

Selain itu sepertinya saya juga merasa sangat bersyukur mendapat kamar isolasi, karena sekamar hanya saya sendiri. Sehingga saya merasa di kamar lebih privat, meskipun sekali-dua kali ada perawat yang mengunjungi untuk memberikan suntikan atau infus. Tapi saya tetap bebas melihat youtube dan video lain tanpa merasa mengganggu pengunjung lain.

Lantas setelah beberapa hari menginap di RS saya mendapati hasil bahwa sample ludah yang saya ludahkan hingga tenggorokan saya kering -karena ukuran ludah yang harus dikumpulkan 40 ml- ini negatif TBC. Saya divonis pneumonia, setelah saya cari arti istilah tersebut maka saya mengetahui bahwa paru-paru saya terjangkit sesuatu yang asing (jamur/bakteri/virus). Sehingga saya batuk kering dan susah sembuh.

Namun saya masih mencurigai bahwa ini hanya akal-akalan saja. Karena rumah sakit dan tenaga kesehatan seluruh indonesia saat ini berfokus pada TBC. Mulai dari program antisipasi TBC yang dilakukan oleh puskesmas, hingga rumah sakit kini mencurigai jika ada yang batuk harus dicurigai sebagai TBC.

Kecurigaan ini berawal dari asumsi saya bahwa beberapa bulan yang lalu investasi Bill Gates untuk ujicoba vaksin TBC ditolak oleh masyarakat, maka pemerintah seakan-akan mencari-cari orang yang terjangkit TBC dan memaparkan data bahwa TBC di Indonesia tinggi. Sehingga propaganda tersebut berhasil dan masyarakat beranggapan memang diperlukan investasi tersebut.

Pada rawat inap saya kali ini, yang aneh adalah saat dirujuk dari klinik Nusantara saya divonis kelainan fungsi hati, namun yang dilakukan foto rontgent malah paru-paru. Harusnya yang difoto adalah hati, karena observasi dari klinik adanya masalah di hati. Semenjak saya dicurigai ada masalah di paru-paru, perawatan yang saya dapatkan menjadi seakan-akan saya sesak nafas dan perlu penanganan ekstra. Semenjak di UGD saya diberikan selang oksigen untuk bernafas, dilakukan pengasapan setiap hari 3 kali.

Karena hal tersebut saya tidak merasa dirugikan sama sekali, toh juga karena adanya vonis TBC saya mendapatkan ruangan yang lebih privat. Baru kali ini juga saya menjajal dinginnya selang oksigen namun tidak ada keluhan terkait nafas. Mungkin ini cara semesta memberikan pengalaman tentang rumah sakit, selang oksigen, nebul dan betapa tersiksanya meludah saat batuk untuk diuji ludahnya.

0 comments:

Post a Comment