Pengalaman Pertama Rawat Inap, Langsung di Dua RS
![]() |
| memakai selang oksigen meskipun tidak sesak |
Saat awal bulan September ini merupakan pengalaman pertama saya di rawat di rumah sakit. Jadi ceritanya sesaat setelah gerak jalan perayaan hari kemerdekaan yang diadakan pemuda karang taruna di kampung, saya terserah penyakit demam berdarah. Sesaat setelah pengundian hadiah selesai, badan saya meriang dan menggigil. Awalnya saya kira karena kecapekan karena durasi menunggu hadiah yang terlampau lama, mulai pukul 8 pagi hingga pukul 2 siang. Ditambah saya mendapat titipan untuk “menjaga” nomor kakak saya, sehingga kupon undian yang harus saya pegang cukup banyak. Sehingga konsentrasi saya cukup terperas untuk mengecek setiap nomor yang dipanggil, akan tetapi yang muncul banyak malah kupon-kupon titipan. Milik saya sendiri malah Cuma mendapat 3 hadiah hiburan.
Karena hal tersebutlah saya
menyimpulkan, mungkin saya hanya stres karena sudah mencurahkan semua
konsentrasi namun hanya mendapat sedikit hadiah. Namun setelah tiga hari
menggil, kondisi tubuh saya tidak segera pulih. Badan masih lemas, kepala masih
pusing, setiap malam juga masih menggigil kedinginan dan suhu badan juga panas.
Maka saya periksa ke klinik Nusantara yang merupakan faskes 1 dalam kartu BPJS.
Dokter memberikan obat saja, tidak dilakukan cek lab. Saat itu dikarenakan alat
labnya rusak, sehingga diberikana parasetamol dan anti biotik saja. Saat
kunjungan pertama ini sempat ditawarkan rawat inap, namun entah mengapa saya
menolak tawaran yang kemudian saya ambil tersebut.
Setelah tiga hari semenjak
kunjungan ke klinik tersebut, penyakit saya tidak kunjung sembuh. Parasetamol
sudah habis, pun juga antibiotik. Sehingga saya diajak untuk memeriksakan
kondisi ke dokter. Saat itu istri sudah bilang, “kalau disuruh rawat inap,
bilang mau saja” tanda bahwa orang rumah sudah siap jika saya opname di klinik
tersebut. Singkat cerita, saat diperiksa dokter (yang berbeda dengan dokter
saat kunjungan pertama) saya ditawarkan untuk ngamar di klinik ini. Tanpa
berpikir panjang saya menganggukkan kepala tanda saya menyanggupinya.
Maka dari itu diuruslah administrasi
oleh bapak saya yang saat itu mengantar saya. Saat pengurusan administrasi ada
hal aneh yang ditanyakan oleh bagian administrasi. Yaitu “apakah bersedia
dirawat minimal tiga hari?”, jika kurang dari tiga hari pulang dengan kemauan
sendiri maka tidak ditanggung BPJS. Saya iyakan saja agar cepat tidur kasur,
namun bapak saya yang merasa itu ganjil menanyakan kepada temannya yang bekerja
di BPJS Kesehatan. Dan sialnya teman bapak saya langsung menanyakan hal yang
menurut saya kurang penting tersebut ke pimpinan klinik. Alhasil keesokan
harinya bagian public relation klinik ini mengunjungi saya dan
menyatakan permohonan maaf atas ketidakjelasan informasi tersebut.
Terlepas dari ketidakjelasan
informasi yang merupakan kelemahan klinik ini, saya merasa nyaman dengan
perawatan saya di klinik Nusantara ini. Selain karena bentuk ruang rawat
inapnya yang seperti losmen, pelayanan dan makanannya tidak seperti di rumah
sakit. Sehingga saya serasa berlibur dan tiduran di penginapan. Ditambah lagi
saat saya masuk ruangan, keesokan harinya pasien selain saya sudah pulang.
Sehingga satu klinik hanya saya yang melakukan rawat inap, selebihnya rawat
jalan mulai pukul 8 pagi hingga 8 malam.
Saya mendapatkan perawatan di
klinik ini selama dua malam saja, pada waktu di rawat saya divonis mengidap
sakit demam berdarah. Setelah menginap dua malam saya dikunjungi dokter dan
dibilang terlihat kuning. Dokter tersebut mencurigai saya mengalami kelainan
fungsi hati (hepatitis), sehingga saya dirujuk pindah ke rumah sakit. Rumah
sakit tempat rujukan tersebut juga terbilang kurang familiar bagi saya yang
terbiasa mengunjungi rumah sakit besar seperti RS Wava Husada atau RSUD
Kanjuruhan.
Awalnya dokter tersebut merujuk
saya ke RS Hasta Husada, yang terletak kurang dari satu kilometer dari klinik
dan rumah. Namun karena di sana setelah dihubungi ternyata penuh, maka
rujukannya pun diubah ke RS Ben Mari. Jaraknya pun cukup jauh, lebih dari 10
kilometer dari rumah. Seumur hidup saya tidak pernah berkunjung untuk rawat
jalan ataupun membesuk teman di rumah sakit ini.
Tapi karena saya tidak memikirkan
jarak maupun jenis rumah sakitnya, sayapun mengiyakan rumah sakit tersebut
sebagai tempat ngamar saya berikutnya. Singkat cerita saya dibawa ambulan dan
masuk ke UGD rumah sakit tersebut. Dari observasi dokter UGD saya dinyatakan
sakit paru-paru. Hal ini dikarekanakan hasil foto rontgent saya terlihat
beberapa flek di paru-paru. Entah ini flek asap rokok atau memang penyakit, tapi
dari hasil foto tersebut yang menghasilkan saya dicurigai TBC.
Padahal saya sudah lama tidak
merokok, namun masih sering berinteraksi dengan perokok maupun asap knalpot.
Selain hasil foto rontgent, saat dibawa ke rumah sakit tersebut saya juga
batuk-batuk cukup parah. Padahal sebelum saya opname di klinik nusantara, saya
tidak batuk sama sekali. Mungkin saya tertular batuk di klinik nusantara, pikir
saya. Namun setelah diobservasi lebih lanjut melihat nafas saya, ternyata saya
cukup ngos-ngosan. Menurut mbak-mbak perawat yang menghitung nafas saya, manusia
pada umumnya mengambil nafas 20 kali dalam semenit, tapi saya bernafas 30 kali
dalam semenit. Sehingga disimpulkan saya mengalami gangguan pernafasan di
paru-paru.
Setelah mendapatkan hasil
observasi maka saya diantar ke ruang isolasi. Awalnya saya pikir akan disini
sementara saja, mungkin semalam saja sudah pindah ke ruangan pada umumnya yang
dalam satu kamar ada beberapa pasien. Ternyata setelah saya tanyakan ke perawat,
saya akan disini hingga sembuh, karena saya dicurigai TBC sehingga tidak sebebas
pasien lain. Setidaknya itu yang saya rasakan saat mendapat perawatan di
ruangan tersebut.
Namun kenyataanya beda, saya
bebas dikunjungi siapapun, bebas menikmati sinar matahari pagi sembari melakukan
peregangan, bebas berjalan sambil membawa cairan infus keliling rumah sakit. Seperti
di klinik nusantara, saya sangat happy mendapatkan perawatan di rumah sakit
ini. Desain bangunannya yang tidak terlalu sumpek seperti rumah sakit besar
yang saya ketahui, membuat saya enjoy menjalani masa penyembuhan di
sini.
Selain itu sepertinya saya juga
merasa sangat bersyukur mendapat kamar isolasi, karena sekamar hanya saya
sendiri. Sehingga saya merasa di kamar lebih privat, meskipun sekali-dua kali ada
perawat yang mengunjungi untuk memberikan suntikan atau infus. Tapi saya tetap
bebas melihat youtube dan video lain tanpa merasa mengganggu pengunjung lain.
Lantas setelah beberapa hari
menginap di RS saya mendapati hasil bahwa sample ludah yang saya ludahkan
hingga tenggorokan saya kering -karena ukuran ludah yang harus dikumpulkan 40
ml- ini negatif TBC. Saya divonis pneumonia, setelah saya cari arti istilah
tersebut maka saya mengetahui bahwa paru-paru saya terjangkit sesuatu yang
asing (jamur/bakteri/virus). Sehingga saya batuk kering dan susah sembuh.
Namun saya masih mencurigai bahwa
ini hanya akal-akalan saja. Karena rumah sakit dan tenaga kesehatan seluruh
indonesia saat ini berfokus pada TBC. Mulai dari program antisipasi TBC yang
dilakukan oleh puskesmas, hingga rumah sakit kini mencurigai jika ada yang
batuk harus dicurigai sebagai TBC.
Kecurigaan ini berawal dari
asumsi saya bahwa beberapa bulan yang lalu investasi Bill Gates untuk ujicoba
vaksin TBC ditolak oleh masyarakat, maka pemerintah seakan-akan mencari-cari orang
yang terjangkit TBC dan memaparkan data bahwa TBC di Indonesia tinggi. Sehingga
propaganda tersebut berhasil dan masyarakat beranggapan memang diperlukan
investasi tersebut.
Pada rawat inap saya kali ini,
yang aneh adalah saat dirujuk dari klinik Nusantara saya divonis kelainan
fungsi hati, namun yang dilakukan foto rontgent malah paru-paru. Harusnya yang difoto
adalah hati, karena observasi dari klinik adanya masalah di hati. Semenjak saya
dicurigai ada masalah di paru-paru, perawatan yang saya dapatkan menjadi
seakan-akan saya sesak nafas dan perlu penanganan ekstra. Semenjak di UGD saya
diberikan selang oksigen untuk bernafas, dilakukan pengasapan setiap hari 3
kali.
Karena hal tersebut saya tidak
merasa dirugikan sama sekali, toh juga karena adanya vonis TBC saya mendapatkan
ruangan yang lebih privat. Baru kali ini juga saya menjajal dinginnya selang
oksigen namun tidak ada keluhan terkait nafas. Mungkin ini cara semesta memberikan
pengalaman tentang rumah sakit, selang oksigen, nebul dan betapa tersiksanya
meludah saat batuk untuk diuji ludahnya.


0 comments:
Post a Comment