Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Saturday 6 July 2019

Setitik Nila yang Hampir Rusak (3)


Ini cerita lanjutan dari cerita sebelumnya
Nila yang hampir rusak
Sumber: https://twitter.com/bemb_beng

Namanya cinta seakan tak bisa dibendung dengan ucapan orang tua, Nila pun menceritakan hal ini kepada umi Sakdiyah. Seakan geram dengan larangan bapak dan ibu, umi menggerutu sembari berjalan ke dapur menyiapkan masakan untuk Nila. “Kamu sebaiknya tidak usah mengkhawatirkan hal itu nil, mereka hanya orang awam yang memikirkan duniawi saja. Mereka hanya khawatir kehidupan duniamu, tanpa mensyukuri kehidupan ukhrawi”.
Sembari menanak nasi umi melanjutkan pembicaraannya, “sesungguhnya bila kamu nikah dengan habib, kamu sudah naik derajat. Karena kamu sudah menjadi istri kekasih allah”. Nila pun manggut-manggut seakan mengerti makna tersirat dari perkataan umi. Tiba-tiba ada senyum yang menyungging di bibir manis yang tersembunyi di balik cadar. Lantas ia berkata, “iya umi alhamdulillah”.
Tiba-tiba dari arah ruang tengah terdengar suara terompah sang habib. Umi pun dengan cekatan menggenggam tangan Nila sembari berkata, “kamu ikut makan saja dengan kami, nanti kita bicarakan dengan habib. Semoga ada solusi dari larangan orang tuamu”.
Saat keluar dapur menuju ruang makan habib pun terperangah melihat Nila dengan umi. “Nila itu mata kamu kenapa?”. Memang yang terlihat oleh Habib saat itu mata Nila yang sembab karena semalam sudah menangis. Umi pun menjawab dengan cerita yang sama persis seperti cerita Nila. Lantas umi bertanya kepada habib “bagaimana bi? Apa ada solusi untuk Nila?”. Habib pun menyahut, “biar saya ke rumahmu saja, sekalian mengkhitbahmu”.
***
Sore itu Nila senang tak karuan, karena sang Habib akan bertemu bapak dan ibu. Sampai-sampai Nila usai subuh bertilawah hingga matahari terbit sempurna, lalu ia lanjutkan dengan sholat dhuha. Tepat saat bapak selesai mengantarkan Lina adik Nila, ada ketukan pintu di depan rumah. Ibu yang sedianya memasak di dapur keluar untuk membukakan pintu.
Ternyata seorang pria berjubah serba putih dan istrinya dengan gamis merah sudah tepat berada di depan pintu rumah. Selesai menjawab salam, ibu pun langsung menyambut tamu dengan ramah. “Maaf bapak dan ibu mencari Nila ya?”, Tanya ibu sembari mempersilahkan duduk. “Sebelumnya perkenalkan saya Habib Turmudzi dan ini istri saya”, jawab habib dengan gestur tangan memperkenalkan. “Bapak ada?”, sambung habib bertanya kepada ibu. Dengan cepat ibu menyahut, “sebentar, saya panggilkan ke belakang”.
“Pak ada tamu”, kata ibu. Dengan rasa penasaran bapak menganggukkan kepala lalu menuju ruang tamu. Mata bapak pun terbelalak. Ternyata Habib Turmudzi yang dulu pernah kabur saat kejadian travel umroh. Dengan membentak bapak bertanya, “kenapa kamu ke sini? Mau kembalikan uang atau bagaimana? Sudah kaya kamu rupanya ya?”. Habib dengan wajah malu menjawab, “astaghfirullah, pak Budi? Subhanallah kita bisa bertemu di sini”. Habib meneruskan pembicaraan untuk mengkhitbah Nila.
Ibu berusaha untuk menenangkan situasi dengan menyajikan es sirup. “Sebentar dulu pak, kita panggil Nila saja dulu”. Bapak pun menyanggupi dan ibu langsung memanggil remaja belia yang dari kemarin mengurung diri di kamar.
***
“Nak, itu ada habib yang mencari kamu di luar, kamu keluar nak”. Nila langsung loncat kegirangan, “iya bu sebentar saya pakai hijab dulu”. Setelah selesai menutup semua auratnya dia keluar tetap dengan rasa girangnya yang susah pergi. Sesampai di ruang tamu sepertinya situasi berbanding terbalik dengan bayangannya.
Ada bapak yang sepertinya dalam kondisi marah, habib dan umi yang menundukkan muka seolah menjadi korban kemarahan bapak. Rasa penuh tanya tersebut rasanya sukses melunturkan rasa girang yang tak terkira. “Bapak habis marah?”, Tanya Nila. “Kamu duduk dulu”. Bapak menjawab dengan nada bergetar sembari mendamaikan emosi yang masih bergejolak di dada.
Lalu habib mulai membuka percakapan dengan meminta maaf kepada bapak atas kesalahannya dahulu. Pasalnya habib sudah membawa kabur uang umroh bapak, nenek, kakek, dan bibi. Dahulu sebelum kakek dan nenek meninggal ingin melaksanakan umroh satu keluarga. Namun sayangnya rencana untuk beribadah sekeluarga tersebut sirna, saat uangnya dibawa kabur habib.
Habib Turmudzi mengakui kesalahan tersebut, karena dahulu habib masih belum berhijrah. Sehingga nafsu yang ada di dalam dirinya seakan susah untuk dikendalikan. Laksana raksasa besar yang semakin dilawan semakin bertambah besar. Berujung habib membawa kabur uang jamaah umroh dan menghilang begitu saja. Namun saat itu habib mengatakan akan mengembalikan semua uang yang dulu beliau bawa pergi, secara tunai.
Sejalan dengan pernyataan minta maafnya, habib menyatakan ingin mengkhitbah Nila. Lalu Umi menyambung dengan perkataan yang menjurus kepada keridloan beliau sebagai istri pertama Habib.
"Dasar manusia tak tahu tata krama!", Bentak bapak kepada kedua pasangan mulia itu. "Pergi kalian! Tak mungkin aku melepaskan anakku untuk dimadu setan berjubah seperti kalian". Nila pun mulai ikut beradu opini, opini yang ia sampaikan kurang lebih sama dengan petuah yang disampaikan Umi saat pertama kali Nila mendengar bahwa ia akan dikhitbah. Tak jauh dari kemuliaan yang akan ia dapatkan di surga karena bersanding dengan kekasih allah.
Mendengar ucapan Nila perlahan emosi Bapak menurun. Seakan naluri seorang bapak sebagai pengayom anak mulai muncul di raut wajah Bapak. Suara yang semula menggelegar kini mulai melembut, tangan yang semula menggebrak meja seperti preman pasar kini mulai turun dan sesekali memegang cangkir teh.
"Lalu kamu akan menikahi anak saya kapan? Biar saya bisa menyiapkan berkas untuk ke KUA?", Umi menyahut dengan penjelasan yang berujung pada permintaan agar mereka berdua nikah siri dahulu, untuk menghindari fitnah. Nila pun menyambung dengan berbagai ayat al-quran yang menjadi pertimbangan lebih baik nikah siri daripada menimbulkan fitnah.
Seakan memperhitungkan sesuatu, bapak perlahan-lahan mencerna ucapan yang keluar dari kedua mulut wanita itu. Lalu menyuruh kedua tamu yang sudah pucat pasi setelah kena marah tersebut pulang.

*Cerita Selanjutnya klik di sini

0 comments:

Post a Comment