Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan
Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Sunday, 27 December 2020

Sang Spekulan



 Menjadi biasa adalah kebiasaan yang tidak terlalu biasa, bagi aku yang tidak biasa hidup biasa rasanya kalimat ini sudah menjadi moto hidup di binder berjajar dengan makanan favorit (mafa) dan minuman favorit (mifa). Hidupku sepertinya dipenuhi dengan kejadian tak terduga, ada kejadian yang cukup menyisakan trauma saat peternakan ayam petelur keluargaku bangkrut. Lantas orangtuaku menolak menyerah dengan tetap memenuhi permintaan pasar. Tentunya bukan dengan telur hasil dari kandang sendiri. Beliau memilih untuk menjadi pengepul telur dengan berspekulasi kesana kemari.

Mungkin hal ini juga yang menjadikanku lengkap dengan hidupku terbiasa dengan spekulasi. Bahkan di usia yang tergolong muda ini aku berani untuk berspekulasi dengan membuka usaha jual beli laptop bekas. Jelas mengambilnya dari luar pulau yang sangat terkenal dengan barang BM nya. Ya batam. Pagi ini aku mendatangkan beberapa laptop dari Batam. Aku sang spekulan ini memutar uang dari mamakku. Aku pinjam uang dari beliau dan mulai berjual beli laptop dari orang yang entah sampai sekarang tak kunjung aku temui. Bukan karena aku enggan, tapi harga tiket makassar-batam terlampau mahal untuk sekedar menemui sesosok supplier. Jika diingat-ingat dulu itu memang aku spekulan mati. Bagaimana tidak? Usaha ini aku mulai dari aku membeli laptop dari temanku Andi yang hanya bermodal kalimat "ini aku ada teman di Batam, dia bisa ambilkan laptop bagus. Kalau kau mau beli". Sebatas kalimat itu saja lantas aku merogoh kocek empat juta dan membayarnya. Entah ada angin apa waktu itu, aku seringan tangan itu membayar laptop yang belum tahu bentuk serta wujudnya.

Tapi untungnya teman Andi yang aku belum tahu namanya ini masih amanah, sehingga barang yang saya order sampai di makassar dengan aman dan selamat. Spesifikasi memang agak tidak sesuai dengan yang dipresentasikan sampai berbusa. Andi bilang kondisi barang mulus tapi yang datang agak lecet, mungkin ini memang barang bekas pakai namun yang dikata Andi barang yang didatangkan dari Batam ini barang baru namun tidak ada kardusnya saja. Entah bualan apalagi yang aku percaya dari teman sekelasku yang sampai semester lima ini rumus kimia pun tak ada yang ia hapal. Tapi untuk kualitas laptop yang datang memang sudah sangat sesuai dan harganya pun masih bisa dimainkan.

Dari sini aku menerawang jauh kedepan dan meletup ide liar seperti biasanya. Ini laptop murah bisa diperjualbelikan di sini. Tanpa pikir panjang aku pinjam uang dari mamakku dan mulailah aku berbisnis laptop murah tapi tak murahan. Namanya juga bisnis pastilah ada naik turun, tak mungkin bisnis akan berjalan mulus seperti ban mobil yang lama tidak ganti. Naik turun bisnis mulai aku rasakan, kebanyakan naik turun bukan karena pangsa pasar tapi ada pesaing bisnis yang berbuat nakal. Aku menjualnya full melalui online jadi tak butuh tempat berupa toko untuk menjual barang BM itu.

Namun lambat laun seiring berjalannya bisnis aku menemui hambatan yang tak dapat dilewati. Malam itu tiba-tiba ada penggrebekan polisi. Seorang pegawai yang bertugas untuk standby di basecamp ikut dibawa beserta belasan laptop. Saat itu aku sedang pulang ke Sidrap. Tengah malam ditelpon oleh pegawaiku yang ikut digelandang ke kantor polisi. Keesokan paginya aku menuju ke kantor polisi untuk menanyakan duduk permasalahannya. Ternyata usahaku ini dicurigai sebagai penadah barang curian. Tak dapat terelakkan memang ujian ini biasa menghadang siapapun yang menjajakan barang bekas. Entah oknum polisi waktu itu salah tangkap atau memang memiliki niat tidak baik.

Pelaporpun coba aku tanya barang yang hilang laptop jenis apa, tipe berapa, dulu belinya harga berapa. Anehnya sang pelapor tak dapat menjawab pertanyaan yang harusnya jika memang pemilik laptop yang kehilangan akan sangat mudah menjawabnya. Dari sini aku mulai curiga menjadi tumbal atas kebengisan oknum polisi. Alhasil kecurigaanku terungkap, aku ditawari "jalan belakang" dengan membayar sepuluh juta semua akan beres. Otak matematisku mulai bekerja dengan cekatan, dan aku menyetujui dengan pertimbangan ada belasan dagangan yang dijadikan barang bukti. Jika tidak dibayar urusan akan semakin panjang, bisa-bisa barang yang diklaim secara sepihak sebagai bukti malah enyah tak kembali.

Singkat cerita uang aku bayar dan semua kembali. Tapi aku masih terhitung rugi. Karena ada empat barang dagangan yang ditukar. Menjadi sangat rumit, pelik, dan rasanya tak ingin mengulangi lagi. Kebingungan di tengah gagap memaknai hukum serta barang dagangan yang menjadi jaminan, menjadikanku enggan bertindak tegas kepada oknum yang dibilang pengayom masyarakat. Kerugian didepan mata, tak dapat terelakan rasa trauma juga masih mengganjal di kepala. Alhasil aku tutup usaha ini dan menjadikan kengerian ini sebagai pelajaran. Kalau penegak hukum tak selamanya tegak terkadang juga tegang dan mendongak.

Saturday, 3 August 2019

Setitik Nila yang Hampir Rusak (7)


Baca Cerita Sebelumnya
Sumber: https://twitter.com/bemb_beng

Siang itu terasa terik sekali, Ashari pun juga rewel. Maklum bayi yang belum
cupak pusar akan sangat terganggu dengan teriknya siang. Baru umur beberapa hari, penglihatan belum sempurna, pusar masih terbungkus kain kasa selepas digunting. Nila antara bingung dan senang memberikan ASI kepada Ashari.
Saat sedang asyik merasakan nikmatnya memiliki anak, pintu kamar pun diketuk ibu. "Ashari kenapa dari tadi menangis?", Tanya ibu sembari dengan membuka pintu kamar. "Enggak bu cuma pingin netek", jawab Nila sambil menggendong Ashari.
Rupanya ucapan itu cuma modus ibu yang ingin menggendong cucu pertamanya. "Apa kamu tidak capek dari subuh nggendong Ashari? Sini ibu gendong", ibu melancarkan modusnya yang disusun semenjak mengetuk pintu kamar. Sembari menikmati peran sebagai nenek, dengan tangan kanannya ibu mengelus kepala Nila. "Kami cantik Nil, lebih putih dari saat kamu keluar rumah", kata Ibu. Entah mengapa Nila sangat menikmati momen ini. Momen merasakan nikmatnya menjadi seorang anak sekaligus seorang ibu.
Perlahan air mata pun menetes di mata kedua ibu tersebut. Entah rasa bangga, haru, senang, dan tercengang atas banyaknya tikungan dalam lika-liku kehidupan ini. Terlebih Nila yang saat beberapa bulan lalu sempat mengkhianati Ibu demi seorang setan yang berbaju pemuka agama. Masih membekas di ingatan, petuah Ibu yang memang bersumber dari grup WA PKK. Ia berpikir kekhawatiran itu muncul bukan karena info tersebut saja, tapi ada faktor naluri keibuan yang ikut berperan di sana.
***
"Suamimu apa sudah diberikan kabar?", Suara Ibu membuyarkan lamunan Nila. "Belum bu, dianya aja nggak peduli", jawab Nila dengan cuek. "Jangan begitu nak, sebejat apapun dia memperlakukanmu. Dia tetap suamimu. Apa kamu gak takut kena azab karena tidak berbakti pada suami?". Kali ini Nila rupanya ingin berdiskusi dengan kedua orang tuanya. Apakah yang sebaiknya dilakukan olehnya. Setelah mengirim pesan singkat kepada Habib berisi kabar bahwa ia melahirkan beberapa hari yang lalu, Nila mencari bapak untuk diajak duduk bersama Ibu di ruang tamu.
Bapak dan Ibu memberikan pendapatnya terkait menantunya yang tidak bertanggung jawab itu. Inti dari pendapat keduanya adalah melarang Nila untuk kembali ke rumah Habib, sampai Ashari bisa merangkak. Karena sangat susah untuk mengurus bayi. Bila Nila sendiri di rumah sebesar itu, takutnya akan kerepotan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, dirinya dan juga anaknya. Peran seorang lelaki yang mengayomi sangat dibutuhkan di saat ini. Bila di rumah orang tuanya pasti Nila akan terbantu, dan pasti juga banyak yang membantu.
Di tengah percakapan sore itu yang ditemani teh buatan Nila sebagai ucapan terimakasih atas urun rembuk kedua orang tuanya, tiba-tiba telepon genggam Nila berdering keras. Khawatir mengganggu Ashari yang sedang tidur, langsung diangkat tanpa melihat siapa yang menelpon. Ternyata ada suara pria yang familiar di kuping Nila, ya diujung sana ada Habib Turmudzi yang menelpon. Ia mengucapkan selamat kepada bunda baru dan menyatakan talak sebanyak 3 kali sebagai isyarat cerai.

Sunday, 28 July 2019

Setitik Nila yang Hampir Rusak (6)


Baca dulu cerita sebelumnya

Nila yang hampir rusak
Sumber: https://twitter.com/bemb_beng

Perut Nila mulai membesar seperti bola, tanda hari kelahiran anak pertama mulai dekat. Namun sama sekali tidak ada ucapan dari Habib perihal kelahirannya. Cek rutin ke dokter sejak usia kehamilan muda pun juga dilanggar, dengan dalih tawakal kepada tuhan. Untuk kali ini Nila terpaksa mengatakan kepada habib, untuk membuat rencana nanti kehamilan Nila bagaimana dan dimana.
Dengan entengnya Habib berkata, "kamu lahir di rumah saja, jadilah ibu sekaligus bidan seperti Siti Maryam yang melahirkan Nabi Isa". Seakan tidak dipedulikan terkait risiko kematian yang ditanggungnya, Nila pun tiba-tiba menangis. Bukan karena terharu dengan peristiwa kelahiran Nabi Isa, tapi menangisi ketidak pedulian habib kepadanya. Ia takut saat melahirkan tidak ada orang di rumah, di kehamilan yang berusia 8 bulan ini pasti ada rasa malas yang menyertainya.
Dengan berderai air mata Nila meminta ijin suaminya untuk pulang ke rumah orangtuanya. Sekali lagi habib pun menjawab, "terserah saja" cermin ketidakpeduliannya. Tapi Habib merasa enggan untuk mengantarkan atau sekedar membuka aplikasi penyedia taksi dan memesankannya.
Dengan terpaksa Nila menelpon Bapak agar menjemputnya. Karena untuk memesan taksi online pun Nila tidak memiliki uang. Jadi solusi terakhir adalah meminta Bapak untuk menjemput anak yang telah diacuhkan oleh suaminya itu.
Tidak perlu menunggu lama bapak pun datang dengan mas Darto tetangga yang memiliki mobil. Rupanya bapak tidak tega untuk menjemput anaknya yang hamil tua dengan motor. Untung mas Darto saat dibutuhkan sudah pulang dari kantor. Dengan baju yang agak basah karena terguyur hujan, bapak masuk dan membawakan satu ransel pakaian dan keperluan Nila.
Entah Habib dan Umi saat bapak datang menghilang kemana, seakan menjadi hantu di rumahnya sendiri. Mungkin Habib takut kena damprat bapak mertuanya yang sangat kesal dengan tingkah lakunya. Nila pun juga mencarinya, karena ingin mencium tangan suaminya sebagaimana istri sholehah. Meskipun tingkah laku Habib kepadanya sama sekali tidak mencerminkan manusia yang paham hukum agama.
***
Tepat pukul 15.00 Ashari keluar dari rahim Nila. Kecuali dokter dan susternya seisi ruangan pun mengeluarkan air mata. Bapak, Ibu, dan Lina semua mengalirkan air mata. Siapa yang tidak terharu? Jika melihat riwayat kehidupan Nila saat mengandung Ashari. Suasana antara senang dan sedih menyelimuti keluarga dengan sangat hangat.
Seakan selimut tersebut sangatlah tebal, saat mengadzani dan mengiqomati Ashari pun juga masih dalam keadaan mengeluarkan titik-titik air mata. Pergulatan batin untuk meneruskan deru tangis dan berhenti menangis terjadi dalam jiwa Bapak. Sebagai kepala keluarga rasanya Bapak tetap harus berhenti menangis, demi memberikan rasa tenang dan juga support kepada Nila yang ketika itu menyandang gelar bunda.
Seakan sore itu menjadi sore paling haru dalam keluarga Nila. Habib yang harusnya hadir dan menjadi saksi kelahiran buah hatinya kini malah tidak menampakkan batang hidungnya. Tiba-tiba bapak teringat kasus yang dulu menjadi dasar tidak diijinkannya Nila kawin siri. Kasus yang dialami oleh tetangga yang nama bapaknya tidak tercatat dalam dokumen kependudukan. Karena nikah siri, jadi mirip seperti anak haram yang bapaknya tidak mau menjadi wali.
Karenanya bapak dengan ketegaran hati mengurus dokumen kependudukan untuk cucunya. Namun tak dapat dikata, ketika petugas rumah sakit menanyakan perihal nama bapak dari Ashari derai tangispun membuncah. Seperti banjir air bah bendungan yang sudah gagal untuk menjadi tanggul. Dengan disertai isak tangis Bapak secara perlahan menjelaskan kepada petugas. Alhasil nama dalam surat keterangan kelahiran yang nantinya menjadi akta kelahiran, hanya tercantum Ashari bin Nila. Tanpa tercantum nama Habib Turmudzi.
Cerita Selanjutnya

Saturday, 20 July 2019

Setitik Nila yang Hampir Rusak (5)


Baca Juga Cerita sebelumnya
Sumber: https://twitter.com/bemb_beng

Pesta pernikahan yang sederhana pun telah usai, kini Nila mulai mengarungi luasnya kehidupan dengan bahtera rumah tangga bersama dengan Habib dan Umi. Satu bulan bersama rasanya tak terasa, agaknya Nila menikmati setiap ayunan gelombang laut kehidupan. Tak seperti yang dikatakan orang-orang, bahwa menjadi istri kedua pasti akan dikalahkan dengan istri pertama.
Entah karena kebijaksanaan Habib Turmudzi atau kebaikan Umi Sakdiyah. Hampir satu bulan Nila tidak pernah ada konflik sama sekali dengan Umi sebagai istri pertama habib. Setiap habib pergi ke pengajian Nila di rumah menemani Umi. Karena memang seorang istri tidak diperbolehkan keluar rumah ketika suami pergi. Menurut Nila hal ini sangat adil, ketika Nila tidak diajak pergi Umi juga tidak diajak pergi. Saat itu Habib di mata Nila sudah sangat adil, bahkan satu tingkat di bawah nabi dalam mengagungkan keadilan. Kebetulan juga ia tinggal satu rumah, jadi ia acap kali menyaksikan secara langsung cara hidup Habib dan Umi.
Nila sempat tercengang ketika selama seminggu Umi tidak di rumah. Memang secara batin ia sangat senang, karena dapat menjadi istri satu-satunya yang berbakti pada habib. Namun di sisi lain ada rasa yang mengganjal, apakah Umi sedang tidak enak hati dengannya atau ada konflik antara Umi dan Habib. Ia pun memberanikan diri bertanya kepada sang suami tercinta.
Tepat setelah sholat isya' sang suami yang memiliki panggilan sayang "abi" tersebut menerangkan bahwa Umi sedang ada urusan ke rumah orang tuanya. Saat itu Nila memang tidak tahu menahu tentang rumah orang tua Umi dan asal usul keluarga Umi, pun juga di usia perkawinannya yang masih satu bulan tersebut Nila juga belum mengetahui rumah dan orang tua Habib. Nila pun memaklumi dan mempercayai jawaban Habib.
***
Genap dua bulan Nila mulai mual-mual, rupanya ia mengandung anak pertama. Hal yang lumrah saat testpack sudah menyatakan positif adalah bahagia sekaligus lemas. Lemas karena pertama kali rahim berisi janin, sehingga masih belum terlalu beradaptasi. Usia kandungan yang masih dini ini juga membuat Nila kerap meminta hal aneh kepada Habib, namun sayangnya Habib beberapa kali tidak mempedulikan keinginannya. Alhasil Nila memilih untuk meminta ke Bapak yang sangat senang untuk mengabulkan keinginan calon cucunya itu.
Umi juga sepertinya acuh tak acuh. Tepat setelah seminggu keluar dari rumah, Umi seakan menjadi makhluk yang sangat berbeda. Yang awalnya setiap selesai makan malam selalu menonton TV bertiga dengan Habib dan Nila, kini mulai membeli TV di kamar dan menontonnya dengan Habib. Sejalan dengan Umi, habib seakan menuruti semua kemauan Umi. Seakan Nila dan janin yang dikandungnya dicampakkan begitu saja.
Merana dengan usia kandungan seumuran jagung tidaklah mudah. Selain mood yang naik turun karena jabang bayi, ada juga rasa menyesal Nila musabab keikhlasan Nila untuk dimadu. Berparuh kasih rasanya tidak semudah jihad melawan kaum kafirin. Ada saja rintihan perih setiap harinya, sayatan kecil yang menyebabkan luka tak berdarah menyerang hati Nila. Setiap malam Nila mencoba untuk sholat malam untuk menyembuhkan luka sembari berdoa, agar yang maha membolak-balikkan hati dapat membuat hati Habib dan Umi kembali seperti dulu.
***
Jamaah pengajian Habib semakin lama semakin banyak, dulu murid Habib tidak pernah sampai di pelataran masjid. Kini jamaah pengajian yang terlaksana setiap malam selasa itu sudah membanjir sampai depan rumah Habib yang berjarak 30 meter dari masjid.
Sejalan dengan bertambahnya jamaah, nama besar habib pun menggaung bak dai kondang. Berbagai undangan ceramah kini mulai memadati jadwal. Sampai-sampai habib membuat tim tersendiri untuk menyiapkan jadwal dakwahnya. Ibarat ketiban nama agungnya, habib kini hanya pulang seminggu dua kali, rentetan jadwal on-air maupun off-air menumpuk setiap pagi.
Nila pun ikut bahagia dengan hal itu. Kini di usia kehamilan 7 bulan itu harus mandiri mengurus diri sendiri. Pasalnya Umi selalu ikut kemanapun Habib pergi. Seakan menjadi makhluk antah-berantah yang ada di dalam rumah tangga, Nila tidak pernah sekalipun diajak. Semenjak kejadian Umi pergi meninggalkan rumah, Habib Turmudzi seakan mengacuhkan Nila begitu saja.
Setiap datang dan keluar rumah jangankan pamit, salam pun sangat jarang diucapkan. Nila hanya berteman sepi untuk menyelesaikan segala pekerjaan rumah tangga. Mencuci, menyapu, mengepel, dan juga memasak ia lakukan sendiri. Tidak ada orang lain di rumah. Jika memang sudah mencapai ambang batas emosi tertinggi, ia hanya bisa menelpon bapak dan ibu dengan isak tangis di balik burqa yang menemani.
Entah posisinya dalam rumah mewah tersebut seperti apa. Sebagai pembantu rumah tangga namun diberikan nafkah secara lahir. Sebagai istri namun tak diberikan nafkah secara batin. Keluar rumah pun ia dilarang, namun memang Habib dan Umi mencukupi bahan pangan yang disimpan di dalam lemari pendingin. Maka dari itu Nila sama sekali tidak diijinkan untuk keluar rumah, untuk sekedar membeli makanan pun Habib menyuruh untuk memesan pada Umi. Nila pun memilih untuk mematuhi.
*Cerita Selanjutnya klik di sini

Saturday, 13 July 2019

Setitik Nila yang Hampir Rusak (4)


Ini cerita lanjutan dari cerita ini
Nila hampir rusak
Sumber: https://twitter.com/bemb_beng

Seakan ada yang mengganjal pikiran. Seusai tamu pulang, bapak kembali merenung dan menimbang nasib putri sulungnya. Beliau memikir baik buruknya keputusan menyanggupi nikah yang hanya sah menurut hukum agama. Seakan tak sanggup untuk memikirkannya sendiri, bapak memanggil ibu yang saat itu sedang membuat opor untuk menu makan malam.
Tak seperti layaknya seorang ibu kebanyakan, yang memiliki pikiran lembut dan seakan mempersilahkan anaknya memilih jalan hidup. Saat diajak diskusi ibu malah terkesan mengekang Nila. Entah ibu memiliki pola pikir tersebut karena ada perasaan yang tak nyaman seperti bapak atau malah termakan pandangan progresif yang tak jarang beliau terima di grup WhatsApp PKK.
Ibu memiliki pandangan bahwa wanita selayaknya diperlakukan sebagai makhluk yang mulia. Tidak semata di mata agama saja, namun di mata hukum yang sah di negara. Perempuan paruh baya tersebut memang bukan lulusan pondok pesantren atau bergelar sarjana. Hanya ibu rumah tangga lulusan SMP saja. Tapi jika dipikir-pikir memang benar opininya.
Seakan menemukan koalisi dalam memperkuat pendapatnya, bapak kini sudah mantap untuk menolak Nila menikah secara siri. Meskipun dalam hukum agama diperbolehkan, namun seperti yang ibu katakan, nikah tanpa sepengetahuan KUA sangat lemah di mata hukum negara. Tak hanya itu, bila sewaktu-waktu melahirkan, maka anak Nila seakan menjadi anak tanpa ayah.
Saat makan malam pun pendapat itu bapak utarakan kepada Nila. Seakan bermain Uno Stacko, bapak menata tutur katanya agar hati anak sulungnya tidak goyah dan kemudian roboh atau bahkan pecah. Namun apa bisa dikata, sepandai apapun bapak mengucapkannya, keputusan pahit adalah keputusan pahit. Nila seakan dicekoki untuk menelan keputusan itu bulat-bulat tanpa ada tapi.
***
Sudah lebih dari satu minggu semenjak bapak menyatakan tidak boleh kawin siri dengan habib, Nila jarang keluar kamar. Hari-harinya dihabiskan untuk menangis di dalam kamar, sesekali keluar untuk sekedar makan dan minum. Tapi tidak seperti biasanya yang setiap makan pasti bersama bapak, ibu, dan Lina.
Sejurus dengan Nila, Habib Turmudzi pun juga menghilang bak ditelan bumi. Memang saat itu Habib tidak diberikan kabar secara langsung atas ketidaksetujuan bapak, melainkan bapak menyuruh Nila mengabarkan berita tersebut.
Seakan terkurung dengan kemurungan yang tak berkesudahan, Nila berusaha untuk menerima takdir namun tak kuasa ada bulir air mata yang mengalir.
Seakan mengurai air mata yang tidak pernah keluar semenjak bertahun-tahun lalu, saat Hendri memilih untuk meninggalkannya. Namun saat itu dia hanya menangis tiga hari saja. Sangat berbeda dengan uraian bulir bak mutiara yang saat ini. Dulu hanya cinta monyet yang tak dinaungi niat untuk memadu kasih di dalam bahtera rumah tangga. Dulu hanya menangis dan masih berkabar dengan kawan-kawannya, meskipun hanya melalui update status via media sosial.
Kini jangankan membuka media sosial, hp saja terakhir ia pegang saat menelpon habib untuk mengabarkan keputusan Bapak. Mungkin bekas air mata yang menempel di layar 4 inch tersebut masih ada. Barang yang semula menjadi corong dakwah bagi dia, kini hanya seperti barang rongsokan tak terpakai yang tergeletak di sudut kamar.
***
Bapak mulai khawatir akan nasib anak sulungnya yang dari kemarin hanya menangis saja. Meskipun sangat mustahil untuk menyakiti diri sendiri, aksi bungkam Nila perlahan tetap membuat sang ayah khawatir. Gamang bercampur merasa bersalah membuat beliau sangat ingin merevisi keputusan yang sudah beliau keluarkan. Meskipun terkesan menjilat ludah sendiri, tapi apa mau dikata bila itu adalah jalan terbaik.
Sama dengan Bapak, Ibu juga mulai merasa keputusannya yang berlandaskan share info dari grup WhatsApp PKK tersebut adalah salah. Padahal Nila sudah memberikan dasar hukum yang sangat sesuai agama, namun Ibu malah tak menggubrisnya dan berkelok ke pendapat yang tak jelas alur informasinya. Seakan menyalahkan informasi yang datang dari antah berantah, ibu mulai memikirkan untuk merevisi pendapatnya.
Naluri sebagai orang tua rasanya sudah meluluh lantakkan objektivitas dalam menentukan nasib Nila. Kerangka berpikir yang beberapa hari mereka bangun, kini sudah dirobohkan sendiri. Bapak dan Ibu seakan siap untuk menerima pernikahan Nila dengan Habib secara siri. Nila pun dipanggil dari kamarnya. Untuk memberikan berbagai revisi keputusan.
Bak tuntutan demonstan yang dikabulkan, Nila girang tak karuan. Ruang tamu yang sebelumnya diliputi ketegangan kini berganti dengan kebahagiaan. Aliran kebahagiaan itu tak berhenti sampai disana, bergegas Nila menuju kamarnya dan menyalakan telepon genggamnya. Setelah menunggu berbagai aliran informasi yang masuk, karena beberapa hari ia tidak menyalakan hpnya. Setelah 5 menit menunggu, ia tidak menghubungi siapa-siapa melainkan Habib Turmudzi.

Cerita selanjutnya klik di sini

Saturday, 6 July 2019

Setitik Nila yang Hampir Rusak (3)


Ini cerita lanjutan dari cerita sebelumnya
Nila yang hampir rusak
Sumber: https://twitter.com/bemb_beng

Namanya cinta seakan tak bisa dibendung dengan ucapan orang tua, Nila pun menceritakan hal ini kepada umi Sakdiyah. Seakan geram dengan larangan bapak dan ibu, umi menggerutu sembari berjalan ke dapur menyiapkan masakan untuk Nila. “Kamu sebaiknya tidak usah mengkhawatirkan hal itu nil, mereka hanya orang awam yang memikirkan duniawi saja. Mereka hanya khawatir kehidupan duniamu, tanpa mensyukuri kehidupan ukhrawi”.
Sembari menanak nasi umi melanjutkan pembicaraannya, “sesungguhnya bila kamu nikah dengan habib, kamu sudah naik derajat. Karena kamu sudah menjadi istri kekasih allah”. Nila pun manggut-manggut seakan mengerti makna tersirat dari perkataan umi. Tiba-tiba ada senyum yang menyungging di bibir manis yang tersembunyi di balik cadar. Lantas ia berkata, “iya umi alhamdulillah”.
Tiba-tiba dari arah ruang tengah terdengar suara terompah sang habib. Umi pun dengan cekatan menggenggam tangan Nila sembari berkata, “kamu ikut makan saja dengan kami, nanti kita bicarakan dengan habib. Semoga ada solusi dari larangan orang tuamu”.
Saat keluar dapur menuju ruang makan habib pun terperangah melihat Nila dengan umi. “Nila itu mata kamu kenapa?”. Memang yang terlihat oleh Habib saat itu mata Nila yang sembab karena semalam sudah menangis. Umi pun menjawab dengan cerita yang sama persis seperti cerita Nila. Lantas umi bertanya kepada habib “bagaimana bi? Apa ada solusi untuk Nila?”. Habib pun menyahut, “biar saya ke rumahmu saja, sekalian mengkhitbahmu”.
***
Sore itu Nila senang tak karuan, karena sang Habib akan bertemu bapak dan ibu. Sampai-sampai Nila usai subuh bertilawah hingga matahari terbit sempurna, lalu ia lanjutkan dengan sholat dhuha. Tepat saat bapak selesai mengantarkan Lina adik Nila, ada ketukan pintu di depan rumah. Ibu yang sedianya memasak di dapur keluar untuk membukakan pintu.
Ternyata seorang pria berjubah serba putih dan istrinya dengan gamis merah sudah tepat berada di depan pintu rumah. Selesai menjawab salam, ibu pun langsung menyambut tamu dengan ramah. “Maaf bapak dan ibu mencari Nila ya?”, Tanya ibu sembari mempersilahkan duduk. “Sebelumnya perkenalkan saya Habib Turmudzi dan ini istri saya”, jawab habib dengan gestur tangan memperkenalkan. “Bapak ada?”, sambung habib bertanya kepada ibu. Dengan cepat ibu menyahut, “sebentar, saya panggilkan ke belakang”.
“Pak ada tamu”, kata ibu. Dengan rasa penasaran bapak menganggukkan kepala lalu menuju ruang tamu. Mata bapak pun terbelalak. Ternyata Habib Turmudzi yang dulu pernah kabur saat kejadian travel umroh. Dengan membentak bapak bertanya, “kenapa kamu ke sini? Mau kembalikan uang atau bagaimana? Sudah kaya kamu rupanya ya?”. Habib dengan wajah malu menjawab, “astaghfirullah, pak Budi? Subhanallah kita bisa bertemu di sini”. Habib meneruskan pembicaraan untuk mengkhitbah Nila.
Ibu berusaha untuk menenangkan situasi dengan menyajikan es sirup. “Sebentar dulu pak, kita panggil Nila saja dulu”. Bapak pun menyanggupi dan ibu langsung memanggil remaja belia yang dari kemarin mengurung diri di kamar.
***
“Nak, itu ada habib yang mencari kamu di luar, kamu keluar nak”. Nila langsung loncat kegirangan, “iya bu sebentar saya pakai hijab dulu”. Setelah selesai menutup semua auratnya dia keluar tetap dengan rasa girangnya yang susah pergi. Sesampai di ruang tamu sepertinya situasi berbanding terbalik dengan bayangannya.
Ada bapak yang sepertinya dalam kondisi marah, habib dan umi yang menundukkan muka seolah menjadi korban kemarahan bapak. Rasa penuh tanya tersebut rasanya sukses melunturkan rasa girang yang tak terkira. “Bapak habis marah?”, Tanya Nila. “Kamu duduk dulu”. Bapak menjawab dengan nada bergetar sembari mendamaikan emosi yang masih bergejolak di dada.
Lalu habib mulai membuka percakapan dengan meminta maaf kepada bapak atas kesalahannya dahulu. Pasalnya habib sudah membawa kabur uang umroh bapak, nenek, kakek, dan bibi. Dahulu sebelum kakek dan nenek meninggal ingin melaksanakan umroh satu keluarga. Namun sayangnya rencana untuk beribadah sekeluarga tersebut sirna, saat uangnya dibawa kabur habib.
Habib Turmudzi mengakui kesalahan tersebut, karena dahulu habib masih belum berhijrah. Sehingga nafsu yang ada di dalam dirinya seakan susah untuk dikendalikan. Laksana raksasa besar yang semakin dilawan semakin bertambah besar. Berujung habib membawa kabur uang jamaah umroh dan menghilang begitu saja. Namun saat itu habib mengatakan akan mengembalikan semua uang yang dulu beliau bawa pergi, secara tunai.
Sejalan dengan pernyataan minta maafnya, habib menyatakan ingin mengkhitbah Nila. Lalu Umi menyambung dengan perkataan yang menjurus kepada keridloan beliau sebagai istri pertama Habib.
"Dasar manusia tak tahu tata krama!", Bentak bapak kepada kedua pasangan mulia itu. "Pergi kalian! Tak mungkin aku melepaskan anakku untuk dimadu setan berjubah seperti kalian". Nila pun mulai ikut beradu opini, opini yang ia sampaikan kurang lebih sama dengan petuah yang disampaikan Umi saat pertama kali Nila mendengar bahwa ia akan dikhitbah. Tak jauh dari kemuliaan yang akan ia dapatkan di surga karena bersanding dengan kekasih allah.
Mendengar ucapan Nila perlahan emosi Bapak menurun. Seakan naluri seorang bapak sebagai pengayom anak mulai muncul di raut wajah Bapak. Suara yang semula menggelegar kini mulai melembut, tangan yang semula menggebrak meja seperti preman pasar kini mulai turun dan sesekali memegang cangkir teh.
"Lalu kamu akan menikahi anak saya kapan? Biar saya bisa menyiapkan berkas untuk ke KUA?", Umi menyahut dengan penjelasan yang berujung pada permintaan agar mereka berdua nikah siri dahulu, untuk menghindari fitnah. Nila pun menyambung dengan berbagai ayat al-quran yang menjadi pertimbangan lebih baik nikah siri daripada menimbulkan fitnah.
Seakan memperhitungkan sesuatu, bapak perlahan-lahan mencerna ucapan yang keluar dari kedua mulut wanita itu. Lalu menyuruh kedua tamu yang sudah pucat pasi setelah kena marah tersebut pulang.

*Cerita Selanjutnya klik di sini

Sunday, 30 June 2019

Setitik Nila yang Hampir Rusak (2)


Ini cerita lanjutan dari cerita sebelumnya
Nila Hampir rusak
Sumber: https://twitter.com/bemb_beng


“Assalamualaikum ukh Nila”. Sore itu ada pesan masuk dari Gendis. Nila pun menjawab pesan dengan cepat karena masih dalam perjalanan pulang dari pesta pernikahan Hendri.
Sesampai di rumah Nila kembali membuka telepon pintarnya dan mencoba melihat pesan Gendis yang sepertinya sangat penting. Dan benar saja, Gendis membawa berita penting setelah salamnya dijawab oleh Nila. Pasalnya setelah puluhan kali bertatap muka dengan Habib Turmudzi rupanya sang habib ingin berta'aruf dengan Nila melalui media Gendis sang keponakan Habib.
Nila mulai didera rasa gamang, karena sang Habib sudah memiliki istri alias jika Nila menyanggupi ta'aruf dengan Habib maka berarti Nila siap dimadu. Memang akan sangat terhormat bila permintaan itu dia kabulkan, dan Gendis dalam pesan tersebut memberikan waktu untuk menjawab hingga tiga hari, tepatnya saat pengajian di masjid Al-ishlah.
Karena memang sangat gamang, setelah sholat isya’ Nila mencoba bertanya kepada kedua orang tuanya. Setelah bercerita dengan kedua orang tuanya perihal lamaran dari habib muda yang akan beristri dua, alhasil bapak dan ibu Nila sempat kaget dan menyarankan untuk menolaknya. “Orang tua mana yang tega untuk merestui anak gadisnya dimadu? Bukannya bapak menolakmu untuk naik derajat bersanding ulama, tapi bapak masih belum tega nak”. Nila pun mempertimbangkan keputusan orang tuanya.
***
Tibalah hari pengajian, seperti biasa Nila duduk di bangku depan. Namun kali ini dipersilahkan duduk disamping istri habib. Topik pengajiannya pun seakan menjadi “kode” untuk Nila, ya topik pengajian saat itu adalah tentang ta'aruf. Saat itu pula Umi -isteri sang habib- tiba-tiba memegang tangan Nila dan berkata, “poligami itu sunah nabi Nila, tiada kemuliaan selain menjalankan sunah nabi.”
Nila detik itu pun juga merasa canggung, mulutnya tercekat tak bisa berkata-kata selain senyum dan berkata “iya” dengan lirih. Seakan Nila bercengkrama dengan keluarga sendiri, meskipun Umi adalah istri sah habib tak terlihat sedikitpun amarah pada Umi Sakdiyah. Semua itu terbungkus rapi dengan akhiran kata dari wanita berdarah arab usia kepala 4 itu, “kalau kamu memang mau ta'aruf dengan Habib, aku merestuinya. Bila kamu merestui juga sebaiknya jangan pulang dahulu setelah ini”.
Seakan Nila juga sudah memantapkan hati untuk hidup di bawah payung hukum syariat. Maka dari itu ia memilih untuk menuruti kata Umi Sakdiyah, ya Nila tetap duduk di samping kanan Umi dengan tetap saling berpegang tangan dengan beliau. Lima menit setelah jamaah pulang Nila diajak ke rumah istri habib. Benar saja, ternyata habib sudah ada di sana menunggu Nila.
***
Seakan mendapat rizki yang melimpah ruah, Nila yang kini sudah memakai cadar tidak sabar untuk menceritakan hal yang terjadi saat dan setelah pengajian tadi kepada orang tuanya. Dengan berapi-api dia menceritakan semuanya, bahwa ia akan mendapat rizki dimadu oleh seorang ulama’ bernama Habib Turmudzi.
Ibu pun mulai bertanya-tanya dan heran, menyahut kalimat itu dengan muka yang kebingungan. Seperti layaknya orang tua lainnya yang tak ingin anaknya menyesal, berita baik itu ia timpal dengan kalimat, “apa sudah dipikirkan?”.
Tanpa menunggu lama ibu mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu dari Nila, “sudah bu, Nila sudah menimbang”. Bapak juga ikut urun pertanyaan dengan menanyakan kapan rencananya lamaran ke sini dan kapan kira-kira ke KUA. Sebagai bapak yang baik, beliau ingin menguruskan surat-surat yang biasa diperlukan seorang bila akan menikah.
“Rencana besok habib akan ke sini, kata Umi Sakdiyah aku nikah siri saja tidak usah ke KUA. Toh dalam Al-qur'an dan As-sunah sudah sah tidak perlu ke KUA”. Bapak pun termenung dengan jawaban itu. Ruang keluarga dengan lima kursi dan satu meja tersebut seakan hening sejenak sebelum terdengar suara sruput kopi Bapak dan berkata, “Bapak tidak rela bila kamu di nikah secara siri, nanti anakmu tidak diakui habib itu bagaimana? Atau kamu tiba-tiba dicerainya begitu saja?”. Keheningan tersebut seakan pecah dengan tangisan Nila.

* Cerita selanjutnya bisa klik di sini

Saturday, 22 June 2019

Setitik Nila yang Hampir Rusak (1)


Nila hampir rusak
Sumber: https://twitter.com/bemb_beng

Hari ini Nila merasa uring-uringan. Ditengarai hari ini ada alasan terlalu baik yang diucapkan Hendri pacarnya. Kutukan bercampur sumpah serapah mewarnai hari-hari Nila.
Sebetulnya alasan Hendri memutuskan Nila karena saat pesta semalam ia menolak untuk diajak tidur. “Memang semua cowok bangsat semua”. Semenjak itu Nila seakan gontai kehilangan belahan jiwanya. Ibarat separuh dari kehidupannya dibawa lari Hendri yang memutuskan untuk berpisah.
Hampir tujuh hari Nila tidak keluar kamar, tidak makan, dan tidak kuliah. Ibarat seorang Putri dalam lagu Jamrud, gadis belia yang baru melek ini memilih untuk tidak meninggalkan kamarnya dan membuat status galau di berbagai sosial media sembari sesekali melihat foto kebersamaannya dengan Hendri.
Ibarat luka gores, perlahan-lahan pasti sembuh juga. Sejalan dengan bergantinya waktu seorang mahasiswa sastra semester 4 tersebut mulai bisa menyembuhkan luka lama. Serpihan luka yang dulu tergores cukup dalam kini mulai sembuh.
Berganti semester Nila mulai menyembuhkan diri dengan sering mengikuti kajian dari unit kerohanian islam. Perubahannya cukup drastis, dari Anila yang dulu sering tidak sholat kini mulai rajin sholat wajib beserta sholat sunahnya. Dulu sering jalan-jalan ke mall yang lumayan dekat dengan kampus, namun kini lebih sering menghadiri kajian-kajian yang diadakan pihak kampus dan beberapa organisasi lainnya.
***
Lambat laun Nila menjadi Nila yang baru. Menjadi sosok muslimah idaman dengan baluran gamis dan cadar yang tidak lain hanya digunakan untuk menutup aurat. Renovasi tidak hanya terlihat dari sosok nyatanya saja, melainkan akun sosial medianya juga begitu. Kini foto wajah tidak menghiasi instagram, mengingat foto wajah perempuan adalah aurat, maka dia lebih memilih untuk menghiasi dinding instagramnya dengan ajakan beribadah dan amalan sunah lainnya.
Banyak yang berubah dengan Nila, bahkan jaringan pertemanannya pun ikut berubah. Kini mayoritas temannya adalah aktifis keagamaan kampus yang dulu sering ia jadikan bahan omongan di kantin saat menunggu kelas. Maka dari itu saat wisuda kelulusan ini, Nila memilih untuk memakai sarung tangan dan sama sekali tidak memakai make up.
Terpaksa wajah cantiknya yang berbalut hijab coklat terlihat oleh khalayak yang masuk gedung utama tempat wisuda. Karena memang pihak universitas tidak merestui pemakaian cadar pada saat wisuda. Meskipun tidak muhrim dengan bapak rektor, Nila tetap bersalaman dengan sarung tangan sebagai satir agar tidak bersentuhan secara langsung.
Di dalam gedung wisuda, banyak yang tercengang dengan perubahan mantan mahasiswa hedon ini. Termasuk Hendri, diam-diam ia menyesali keputusannya untuk meninggalkan Nila. Seakan tidak menghiraukan perubahan yang dialami Nila, Hendri dengan santainya memeluk Nila dari belakang dan membawa satu bouquet mawar yang indah.
“Selamat wisuda ya mantan”, sepersekian detik berikutnya. PLAK! Tangan Nila berhasil mendarat di pipi Hendri dengan keras. “Bukan muhrim tau! Dasar gak sopan!”.
Hendri dengan wajah merah pun meminta maaf namun Nila mengabaikannya. Entah wajah Hendri merah karena tamparan yang teramat keras atau karena malu. Dengan merundukkan wajah, Hendri pergi begitu saja dengan menggenggam bouquet yang gagal diterima karena ketidak sopanannya.
***
Setelah lulus kuliah Nila tetap mengikuti kajian-kajian di kampus ataupun di luar kampus. Rupanya kelulusannya tak sedikitpun menyurutkan minatnya untuk memahami beberapa firman tuhan. Karena sudah terpatri kuat didalam hatinya ilmu yang sangat penting di muka bumi ini adalah ilmu agama.
Pagi itu Nila ikut pengajian Habib Turmudzi di masjid Al-Ishlah. Ini adalah pertama kalinya ia mengikuti pengajian Habib muda nan kharismatik ini, atas ajakan teman Rohisnya dulu bernama Gendis. Menurut Gendis Habib satu ini memiliki hukum yang lumayan tegas, tidak pandang bulu dalam memberikan hukum halal haram pada sebuah kasus. Makanya Nila diajak untuk menimba ilmu di sana.
Tapi saat kedatangan ada yang aneh, Nila disambut Gendis di depan masjid dan langsung mengajak Nila duduk di depan layaknya tamu agung. Kali ini campur aduk antara gemetar, senang, dan bertanya-tanya mendera hatinya. Seakan Nila sudah diberikan kehormatan oleh Gendis dan entah kenapa Gendis juga seakan mudah untuk mengajak Nila duduk di depan ratusan jamaah yang hadir.
Nila pun sepanjang pengajian mendengarkan dengan sungguh-sungguh sembari menyunggingkan senyum di balik cadar saat pengajian mulai hingga usai. Rupanya gadis manis ini masih merasa bahagia karena bisa diistimewakan Gendis sang teman lamanya. Hingga pulang pun Nila masih menyunggingkan senyum di sepanjang jalan antara masjid dan rumahnya.

*Ini cerita selanjutnya