Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Friday 5 March 2021

Resensi kami (bukan) jongos berdasi


Kami (bukan) jongos berdasi


Novel buatan JS. Khairen ini saya dapat saat berbelanja di gramedia. Tak dapat dipungkiri saya tertarik buku ini karena akun twitter penulisnya, yang kerap memadu padankan kata demi kata menjadi frasa yang unik dan juga judul novelnya yang cenderung ideologis. Saya sangat jarang tertarik dengan karya fiksi, mayoritas buku yang saya beli adalah non fiksi. Judul yang fantastik ini berhasil membujuk saya untuk membaca lebih dalam, apa yang terkandung dalam judul "Kami (bukan) Jongos Berdasi".

Dalam sampul belakang seorang J.S.Khairen meringkas novel dengan kalimat yang cukup menarik. Seakan isinya sangat penting, ia menulis semua profesi wajib untuk membaca buku ini. Hingga presiden korea ia wajibkan untuk membaca novel berbahasa indonesia ini. Di akhir kalimat promosinya ia menyebutkan bahwa ini adalah buku kedua dari serial novel "Kami (bukan) Sarjana Kertas". Masih dalam sampul belakang pula ia menyitir sedikit rangkuman tentang buku ini, yaitu alumni kampus UDEL yang sudah lulus, masuk ke dunia nyata yang penuh tikus, ada yang bertahan, ada yang sebentar lagi mampus.

Bagi saya yang belum membaca buku sebelumnya, tentu uraian di sampul belakang buku berwarna merah ini cukup membuat saya garuk-garuk kepala. Tapi semua kalimat yang mirip puisi dengan akhiran rima yang sama ini cukup menjawab.

Jadi dalam buku ini menceritakan sekelompok alumnus kampus UDEL yang sedang berjuang menentukan jalan hidup. Mungkin anak sekarang lebih familiar dengan kalimat quarter life. Sebetulnya tidak semuanya alumnus, ada seorang mantan dosen mereka juga yang kerap terungkap pelan-pelan kehidupannya di tiap bab yang tersaji dalam novel ini.

Sekelompok fresh graduate dan satu mantan dosen tersebut berasal dari berbagai latar belakang yang pasti kita temui di dalam kehidupan nyata. Ada Sania seorang pegawai sok kekinian yang kerap terjerembab dengan ingar bingar dunia kerja. Ada Juwisa yang tipikal akademisi dan pengejar beasiswa S2. Ada Gala seorang putra pengusaha kaya raya yang ingin berkontribusi untuk bangsa dan negara. Ada Randi yang menjadi wartawan dan menggantung cita-citanya untuk menjadi news anchor. Arko seorang pecinta fotografi yang menjalankan mimpi bertualang keluar negeri, meskipun kuliahnya juga belum rampung. Sogi yang kuliahnya tidak rampung, tapi kini berjuang di perusahaan teknologi luar negeri. Dan Lira seorang ibu dosen yang kerap membuat saya tertegun dengan kesimpulan yang ia buat.

Novel ini perlahan-lahan dapat membuat saya dipaksa melihat sebuah peristiwa dari sudut pandang ketujuh karakter yang diusung. Seperti halnya sebuah kehidupan, sangat kurang bijak rasanya jika melihat peristiwa dalam kehidupan ini hanya dari satu sudut pandang. Mungkin trilogi novel JS. Khairen ini memang dia bikin begitu. Namun skup pesan moralnya saja yang berbeda. Sama sekali tidak ada peristiwa yang tidak familiar dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin banyak kejadian kebetulan saja yang membuat karya ini disebut fiksi. Kalau tidak ada kebetulan mungkin plotnya tidak akan berjalan dan tersambung.

Baru kali ini saya dapat menyelesaikan membaca buku dalam dua minggu. Biasanya saya menyelesaikan membaca buku lebih dari satu bulan. Yang saya suka dari novel ini selain tidak hanya berfokus pada satu tokoh adalah chapter per chapter-nya berhasil membuat penasaran. Jadi keterusan membaca dengan balutan frasa yang berima tiba-tiba selesai saja. Jika boleh memadankan, membaca buku ini rasanya sama persis dengan membaca line akun sajak. Pemilihan kalimatnya tepat mulai halaman satu hingga empat ratus.

Kesalahan ketik memang ada beberapa, tapi ini tidak merusak cita rasa novel ini yang relate dengan kehidupan nyata dan enak dibaca. Jika ditanya apakah saya ketagihan membaca trilogi ini? saya dapat katakan tidak. Karena saya kurang penasaran dengan buku sebelumnya, pun juga dengan buku selanjutnya yang berjudul "Kami (bukan) Generasi Bacot". Tapi saya tetap penasaran dengan jawaban dari pertanyaan "J.S.Khairen mau bikin novel apalagi?".

0 comments:

Post a Comment