Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Saturday 11 December 2021

Bagaimana Jika Korban Kekerasan Seksual Adalah Pelaku Fitnah?


 

Gan Khoon Lay, CC BY-SA 3.0, via Wikimedia Commons

Akhir-akhir ini ada beberapa kasus berbasis pelecehan seksual yang mencuat di ranah sosial media. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, apapun yang ramai dibicarakan akun sosial media, pasti akan viral. Berbagai pihak menganggap ini sebagai landasan logis untuk Kembali memperjuangkan pengesahan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual. Dahulu pernah menjadi polemik antar partai. Mirip seperti polemik yang ditimbulkan oleh peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang sempat menuai pro-kontra beberapa hari lalu.

Terlepas dari polemik yang ditimbulkan, sepertinya sangat lumrah jika peraturan menuai pro dan kontra. Karena peraturan yang baik adalah peraturan yang lahir dari partisipasi masyarakat sebagai bentuk permusyarawahan. Jika bermusyawarah tanpa ada pro dan kontra tentu tidak akan akan menjadi musyawarah yang sehat. Tidak ada kondisi saling mengimbangi jika semua pro, pun juga jika semuanya kontra pastilah akan menjadi musyawarah yang tidak memiliki kesimpulan.

Kembali ke sebuah perdebatan dari kasus kekerasan seksual. Mungkin jika kita menganggap kekerasan seksual adalah kejahatan pasti semua umat di dunia akan setuju. Tapi masalahnya sangking asiknya kita mengutuk pelaku hingga kita lupa beberapa kasus yang sampai sekarang masih belum jelas bagaimana penyelesaiannya.

Katakanlah kasusnya Gofar Hilman yang dulu sempat mencuat. Hasilnya bagaimana? Semua seakan bungkam. Jika dilihat kasus ini adalah kasus yang menggunakan sosial media untuk mempublikasikan. Semua pihak yang berkontroversi memiliki sosial media, alias memiliki medium untuk menyebarkan perkembangan kasus tersebut. Mulai dari Gofar Hilman sebagai tersangka, pemilik akun twitter Nyelaras, sampai dari Lembaga yang menaungi seperti SAFEnet dan LBH APIK Jakarta juga belum melakukan publikasi perkembangan kasus.

Saya sengaja mengangkat kasus ini sebagai contoh karena kita sepertinya terlalu sering mencari topik baru hingga lupa untuk mengawal permasalahan lama hingga tuntas. Kita hanya asyik mengikuti arus konflik yang ditawarkan oleh sosial media. Penyelesaian yang harusnya kita lakukan malah kita abaikan.

Saya juga tergelitik untuk membicarakan bagaimana tersangka diperlakukan. Seakan yang mendapat judge dari salah satu pihak akan selalu salah. Padahal seperti yang kita ketahui, hukum masih menganut asas praduga tak bersalah. Artinya jika masih dugaan dan masih belum terbukti di pengadilan, maka masih belum dapat dikatakan bersalah. Tapi beberapa orang menepis asas tersebut dengan mengatakan “dalam penanganan hukum harus berpihak pada korban”. Meskipun korban tersebut masih belum dapat pembuktian.

Hal ini lah yang harusnya menjadi titik perlindungan dalam undang-undang penghapusan kekerasan seksual. Jika semua korban dapat dengan mudah mengklaim menjadi korban, dapat dipastikan jika ada polemik fitnah dengan cara ini dapat dipastikan manjur untuk melumpuhkan korban. Terlepas dari betul atau tidaknya tuduhan tersebut, pihak yang mendapat fitnah akan lumpuh seketika dengan cercaan dari korban.

Mungkin hingga sampai saat ini saya memang masih belum menemui kasus seperti ini, satu-satunya kasus fitnah dengan kasus perkosaan yang pernah saya temui, hanya di dalam film ayat-ayat cinta. Semoga saja hal tersebut tidak terjadi dan undang-undang penghapusan kekerasan seksual tidak disalahgunakan seperti halnya UU ITE. Jika kita cerdas dalam menanggapi kasus, pasti penyalahgunaan tersebut tidak akan terjadi.

0 comments:

Post a Comment