Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Monday 17 April 2023

Mengurai Sastrajendra: Ilmu Kesempurnaan Jiwa [Resensi Buku]


Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi (sumber: Twitter @realsobokartti)



Sastrajendra adalah sebuah ilmu dalam pewayangan ramayana, alkisah dewi sukesi anak dari Sumali membuat sayembara. Barang siapa yang ingin menikahi dirinya, wajib menguasai Ilmu Sastrajendra dan menerangkan kepadanya. Di dunia ini hanya ada satu orang yang menguasai ilmu kehidupan tersebut, bernama resi Wisrawa.

Awalnya sang resi hanya berniat untuk mewedarkan ilmu tersebut ke Dewi Sukesi, karena sang anak yang bernama Danapati ingin meminangnya. Tetapi anaknya tidak menguasai ilmu sastrajendra, sehingga sang anak meminta Resi Wisrawa untuk menunaikan kewajibannya yaitu menjelaskan tentang sastrajendra hayuning pangruwating diyu. Singkat cerita, Dewi Sukesi dan Sang Resi terpaut cinta sehingga memutuskan untuk menikah.
Saya mengira awalnya buku ini menerangkan berbagai kritik dan versi pewayangan, setelah saya baca lebih mendalam ternyata buku terbitan Javanica ini menceritakan apa yang dimaksud sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu. Secara makna perkata sendiri sastra adalah ajaran, jendra adalah raja keindahan, hayuning adalah keindahan semesta, pangruwating diyu adalah peluruh watak angkara murka.
Sastrajendra sendiri dalam buku ini diceritakan bagaimana kita sebagai makhluk, memberikan keseimbangan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Agar keindahan semesta tetap terpancar dan watak angkara murka dapat luruh dengan sendirinya. Sang penulis melakukan berbagai lelaku untuk mencapai ilmu ini. Berbagai meditasi di berbagai titik dilakukan untuk mencari tahu ilmu yang kerap disebut sebagai ilmu yang dirahasiakan.
Meskipun tidak sesuai ekspektasi saya, buku ini terbilang asyik untuk dibaca di awal. Bagaimana pak Setyo Hajar Dewantoro menceritakan lelaku Dewi Sukesi saat diwedarkan Sastrajendra, membuat seakan ajaran yang saat ini hanya dimaknai fiksi, dihadirkan secara nyata dengan berbagai lelaku yang dapat dicontoh. Step by step meditasi dijelaskan betul dalam tiap lembar buku ini. Tak jarang saya selesai membaca buku juga menirukan apa yang dilakukan Dewi Sukesi dan Resi Wisrawa.
Dipertengahan buku setelah cerita Dewi Sukesi dan Resi Wisrawa, sang penulis cenderung menitik beratkan pengaksesan Sastrajendra sebagai ilmu kehidupan. Melalui cerita berbagai proses mengambil ilmu tersebut, seakan kita para pembaca yang awam tentang ilmu kejawen diajak masuk sedikit lebih dalam. Tidak terlalu dalam juga, karena berbagai akses ritual yang diajarkan dalam buku ini hanya berkutat pada meditasi dan akses untuk mencapai titik terdalam tubuh yaitu dewa ruci.
Di akhir buku, menurut saya sudah diluar nalar. Berbagai hal yang menurut saya tidak masuk akal seakan dijejalkan begitu saja ke otak. Berbagai fakta non ilmiah dan juga referensi yang menurut saya kurang kompatibel (blogspot,wikipedia, dan referensi lainnya) dituangkan begitu saja di tiap halamannya. Membuat saya sebagai pembaca sulit untuk memahami apa yang disampaikan oleh penulis.
Terlepas dari keambiguan dan segala penjelasan yang tidak masuk akal tersebut, buku ini dapat digunakan untuk penenang jiwa. Bagi para pejuang kebenaran yang linglung harus menuruti perintah siapa, buku ini dapat dijadikan referensi untuk mengakses keyakinan yang tertuang dalam jiwa. Dapat digunakan untuk mengakses kebenaran sejati yang tidak dapat tergoyahkan, karena memang mempertimbangkan keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos. Ada kalimat menarik untuk menyokong keseimbangan dua hal tersebut yaitu, kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari semesta.

0 comments:

Post a Comment