Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan
Showing posts with label Politik. Show all posts
Showing posts with label Politik. Show all posts

Friday, 12 November 2021

Permendikbudristek Zina


Manuel Tovar Siles, Public domain, via Wikimedia Commons

Menteri pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi akhir-akhir ini mencuat ke permukaan. Seperti berhadapan face to face dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hal ini ditengarai permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual menuai perdebatan panjang. Menteri Nadiem Makarim dua hari yang lalu menanggapi maraknya kekerasan seksual di lingkungan kampus dengan mengeluarkan peraturan menteri. Isi dari peraturan menteri ini yang menuai kekhawatiran pihak PKS dan kroninya, karena bertentangan dengan ideologi yang mereka terapkan. 

Isi dari permendikbud ini dari substansi memang sudah jelas untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan sekolah dan kampus, tapi pihak PKS menganggap ini sebagai perlindungan terhadap perzinahan. Karena dalam peraturan menteri tersebut mengatur kekerasan seksual dapat ditindak sepanjang tidak berdasarkan persetujuan, alias jika ada persetujuan makan boleh-boleh saja untuk melakukan perzinahan. Lantas melipir juga ke penolakan mereka atas RUU Pencegahan Kekerasan Seksual yang dulu sempat menuai pro dan kontra.

Tentu hal ini akan menjadi sangat pelik dan rumit jika kedua pihak yang pro dan kontra ini tidak duduk bersama. Setidaknya kedua belah pihak yang pro dan kontra ini sudah memiliki kekhawatiran yang sama-sama baik. Mendikbudristek khawatir akan berlarut-larutnya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang mana merupakan salah satu dari tiga dosa besar yang mencoreng dunia pendidikan. Sedangkan PKS mengkhawatirkan perzinahan yang merajalela di lingkungan pendidikan. 

Hanya saja salah satu pihak tidak saling berdiskusi, pendukung kedua kubu juga masih mengolok-olok dengan berbagai kalimat yang tidak sopan. Saling serang kedua kubu ini yang menjadikan noda pada niat baik dari kedua belah pihak.

Mungkin pihak kemendikbudristek dapat menjelaskan bahwa pelarangan perzinahan ini sebetulnya sudah dimaktubkan dalam kitab Undang-Undang hukum pidana (KUHP) yang kemarin baru diresmikan. Sodorkan fakta ini saja sudah bisa menepis kekhawatiran yang ajukan oleh kubu PKS. Sebagai pihak yang beriman rasanya wajar saja dengan kekhawatiran seperti itu. Bukan saatnya berdebat untuk dua niat yang baik.

Yang paling dikhawatirkan adalah debat kusir yang berujung pada penyebaran hoax, seperti saat adanya perdebatan RUU PKS yang diklaim salah satu pihak sebagai rancangan peraturan yang melegalkan perbuatan zina. Padahal dalam rancangan undang-undang tersebut sama sekali tidak ada pelegalan perzina.  Tapi ada beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab menyebarkan bahwa adanya klausul membebaskan masyarakat untuk berzina, padahal kenyataannya klausul tersebut tidak ada. Ada juga yang menyebarkan fakta hukum yang sama sekali salah. Seperti "jika RUU ini berlaku, maka banyak suami yang akan ditahan". Alasannya karena tidak adanya persetujuan dari istri saat berhubungan badan. Ini adalah hal yang sangat mustahil. Suami istri berhubungan badan tanpa ada ijin dari istri adalah kemustahilan.

Semoga sepanas apapun perdebatan terkait peraturan menteri pendidikan kebudayaan riset dan teknologi ini nanti tidak bermuara pada kesimpulan blunder seperti ini. Adanya niat baik jika dieksekusi dengan hal yang kurang baik, maka tidak akan membawa kebaikan. Hanya ada kepentingan baik dan memahami dengan baik saja tidak cukup. Karena eksekusi peraturan ini akan dilaksanakan banyak pihak. Jika peraturan ini dicoret begitu saja pasti akan berlarut-larutnya kekerasan seksual di dunia pendidikan. Pun juga jika diresmikan begitu saja pasti ada kerisauan dari pihak lain. 

Thursday, 6 August 2020

Tentang Konsumsi Pemerintah


Data Pertumbuhan Ekonomi (Sumber:BPS)


Awal agustus ini dikejutkan isu resesi di manapun, mulai orang keminter di twitter hingga emak-emak muda yang biasa posting tiktok pun juga ikut menuliskan status terkait kerisauan terhadap resesi ekonomi. Lambat laun akhirnya tanggal 5 kemarin baru saya sadar, BPS telah merilis laporan ekonomi triwulan kedua (april-juni). Hasilnya anjlok tidak karu-karuan. Hasilnya minus di sana-sini. Terlebih yang menjadi sorotan adalah PDB yang sudah merah dengan angka minus 5,32. Pantas semua orang beramai-ramai khawatir terkait kondisi ekonomi kekinian.

Tapi saya merasa ada yang klop dengan data yang diberikan oleh BPS. Terlebih bagi saya yang beberapa bulan terakhir ini bergelut dengan mekanisme pencairan APBN. Ada banyak hal yang cocok dengan hasil data BPS saat triwulan kedua ini. Terlebih terkait konsumsi pemerintah, yang beberapa hari yang lalu dikoreksi mati-matian oleh presiden. Beliau mengeluhkan realisasi yang masih dibawah 50% padahal kondisi ekonomi semakin turun. Tidak ada yang salah dengan ungkapan presiden, karena negara sebagai lembaga yang paling gendut dalam mengolah keuangan. Jika semua uang masih tertahan di dalam maka sudah dipastikan dapat berdampak ke pihak swasta.

Kemarahan presiden ini jika dicocokan dengan kondisi keuangan masing-masing unit kerja di daerah (sebagai penyalur APBN) sangatlah benar. Terlebih jika ditarik garis lurus ke data yang dihasilkan BPS. Pasalnya saat triwulan kedua itu kita biasa mulai gas realisasi. Karena triwulan pertama biasanya digunakan untuk revisi DIPA dan mencocokkan data dengan usulan DIPA yang dimiliki masing-masing unit. Alih-alih penyaluran ini sudah berjalan, malah muncul regulasi baru sebagai dampak dari wabah COVID. Mulai dari kerja dari rumah, sampai pengadaan barang dan jasa harus ditunda dahulu.

Sepertinya tiap unit masih gagap akan pergeseran regulasi ini. Sehingga ada unit penyerap anggaran yang belum dapat merealisasikan kegiatan yang sudah tertulis di rencana kerja anggaran. Seperti contohnya, saat di triwulan kedua tersebut ada aturan yang menurut saya sangat mustahil untuk dilakukan di Papua Barat. Peraturan yang berasal dari kementerian keuangan tersebut memberikan batasan penanganan pengajuan pembayaran. Satu KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) menaungi 300 unit kerja. Namun satu hari hanya dapat melayani 150 permintaan pembayaran. Aturan ini berlangsung mulai 5 Mei 2020 sampai 15 Juni 2020. Entah apa yang melatarbelakangi lahirnya aturan yang sukses menghambat realisasi anggaran ini. Sebagai perumpamaan untuk unit sekelas Universitas Papua saja, setiap harinya rata-rata mengajukan 7 permintaan pembayaran. Tapi menjadi terhambat karena mendapat kuota pengajuan tersebut.

Untungnya peraturan tersebut tidak berlaku lama, sehingga realisasi anggaran hanya tertahan sekitar 40 hari saja. Bahkan ada sebuah unit yang tidak dapat mengajukan permintaan pembayaran sama sekali, karena lagi-lagi sinyal internet yang akhir-akhir ini menjadi ujung tombak keberhasilan realisasi tidak mereka miliki. Harus turun ke kota dahulu barulah dapat mengajukan pembayaran, tapi saat mengajukan pembayaran secara online kuota penanganan KPPN untuk hari itu sudah terpenuhi.

Memang selain kendala teknis sebagai implementasi kerja dari rumah seperti yang saya sampaikan di atas ada juga kendala anggaran yang tidak mungkin terpakai saat pandemi seperti saat ini. Salah satunya anggaran perjalanan dinas yang memiliki porsi cukup besar. Tapi kembali lagi ke hasil pengolahan data BPS, dari kesulitan yang mendera hampir selama separuh triwulan tersebut berhasil mengguncang konsumsi pemerintah. Dapat kita lihat konsumsi pemerintah turun juga sebesar 6,9 persen.

Seperti yang saya sebutkan di atas, negara sebagai lembaga gendut jika konsumsinya menurun pasti akan berdampak ke sektor swasta. Jika anggaran tersebut menumpuk di Rekening Negara dan tidak lekas turun ke masyarakat pasti ada daya beli yang turun. Apakah lantas ini sebagai faktor terbesar penurunan konsumsi secara keseluruhan? Bisa jadi. Tinggal kita simak saja hasil data BPS untuk triwulan ketiga ini. Jika tetap PDB minus dan konsumsi pemerintah sudah tidak minus, berarti analogi yang saya bangun dalam tulisan ini jelas-jelas salah.


Monday, 24 June 2019

Tren Televisi: Membanggakan Mantan


Tren bangga mantan
Mantan (sumber: moondoggiesmusic.com)

Sidang keterangan saksi malam itu terlihat guyub rukun, bahkan banyak netizen yang menyamakannya dengan halal-bihalal alumni UGM. Tak jarang pula alumni yang lebih tua membuat status atau twit, "mereka itu junior saya, bangga rasanya melihat para junior sudah menjadi orang hebat". Rasa bangga sekaligus haru pasti menyelimuti alumni lain. Karena dalam persidangan yang disiarkan di beberapa stasiun televisi tersebut nama UGM terlontar dari hakim maupun ahli yang dimintai keterangan.
Nama universitas tersebut tidak terlontar dalam konteks perkara, sekali lagi saya pertegas hanya untuk mencairkan suasana persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari Jokowi-Ma'ruf. Penjelasan yang disampaikan guru besar UGM tersebut pun sangat santai. Sampai-sampai para warganet mempersamakan persidangan malam itu sebagai kuliah hukum.
Terlepas dari reunian di sidang tersebut, juga ada reunian alumni versi militer. Saya menyebutnya reuni para jenderal. Ada seorang jenderal yang menjadi tersangka tindak kriminal dan yang menangani juga jenderal purnawirawan. Ada juga jendral yang saat ini masih menjabat ikut urun rembuk dalam kasus yang menyeret mantan jenderal tersebut.
Kasus ini berujung kekhawatiran kepada mantan anggota yang dulu sama-sama berdinas di institusi. Sejumlah pihak termasuk mantan anggota menyayangkan dan lebih cenderung sakit hati bila purnawirawan dikatakan makar. Benar saja mereka sakit hati, karena sewaktu berdinas mereka memang mempertahankan merah putih bukan dengan setengah hati. Jiwa dan raga mereka dipertaruhkan dan dipertarungkan. Jadi jika sudah purnawirawan disebut makar, pasti ada sakit hati. Meskipun masih dipersangkakan oleh pemerintah saat ini.
Kedua reunian alumni ini kok terkesan membuat blok yang eksklusif ya? Tapi kesan tersebut tertutup dengan standar ganda dukungan. Bila pendukung 01 ya tidak mempersalahkan reunian alumni di ruang sidang, dan mempermasalahkan aksi solidaritas para purnawirawan. Pendukung 02 ya pasti sebaliknya, kan subjek yang dibicarakan ini memang pada kasus yang berkebalikan.
Ekslusifitas mantan-mantanan ini saya kira sebaiknya disudahi saja. Entah itu junior waktu kuliah atau junior waktu berdinas di pedalaman. Karena mantan ya seharusnya mantan, boleh bereunian namun tidak usah diperlihatkan di depan umum. Bukan apa-apa, seperti kalimat seorang yang bijak-bijak bestari menyebutkan bahwa. Mantan sebaiknya hanya diambil pelajaran, bukan untuk dipamerkan.
Pun juga sah-sah saja bila berbicara hal-hal nostalgia saat bertemu mantan. Karena pasti akan sangat "klik" alias nyambung. Tapi kalau sudah di depan umum lalu sesama mantan ini asik ngobrol sendiri atau malah membentuk kelompok yang cenderung eksklusif, bukan apa-apa, hanya kasian saja untuk mantan alumni lain yang hanya disabet saat instansi atau institusi tersebut tersiksa. Contohnya saat kemacetan kota Malang seperti hari ini, tidak ada yang spesial namun hanya mantan universitas saya saja yang sedang mengadakan wisuda.
Poin pentingnya wahai mantan, pahamilah kami yang memiliki mantan tak seindah mantanmu. Berdamailah dengan sejarah kehidupanmu, karena anda sekalian hidup di masa kini. Bukan masa lalu ataupun masa depan. Jangan ekslusifkan dirimu karena status mantanmu. Karena mantan terindah adalah yang dijadikan pengalaman, bukan yang dibangga-banggakan.

Sunday, 2 June 2019

Usai Pemilu, Dimana Letak Keadilan?


Keadilan pasca pemilu
Sumber: Damien Mayer/getty image

Beberapa hari kemarin publik digegerkan dengan kebijakan yang cukup mencengangkan, yaitu pembatasan akses VPN atas Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Pembatasan akses tersebut memang tak sepenuhnya dibatasi, hanya tidak dapat digunakan untuk mengunduh dan mengunggah foto dan video. Menurut pemerintah hal ini dilakukan untuk membatasi penyebaran hoax atas pemilu.
Memang sebelumnya banyak bermunculan berita hoax terkait pemilu, sehingga meletuslah aksi menuntut kecurangan pemilu saat tanggal 22 Mei 2019. Memang tidak dipungkiri asal usul penyebab aksi itu hanya karena gencarnya hoax terkait kecurangan pemilu. Saat aksi pun kerusuhan terjadi, beberapa mobil dibakar, peserta aksi ditangkap, pun juga pedagang toko asongan tak lepas dari tangan usil peserta aksi.
Setelah aksi meredam pun masih beredar berbagai berita hoax yang disebar, maka dari itu pemerintah membatasi akses VPN atas sosial media. Setidaknya 3 hari mulai tanggal 22 malam hingga tanggal 25 malam warganet baru dapat mengunggah dan mengunduh file gambar dan video. Antisipasi pemerintah tidak cukup sampai di sana saja, berbagai provokator dari kubu 02 juga mulai ditangkap. Kubu 02 merupakan kubu oposisi yang dapat dikatakan menjadikan pemilu yang sedianya selesai setelah KPU mengumumkan hasilnya, malah berbuntut panjang hingga saling lempar batu di depan gedung Bawaslu.
Namun uniknya pemerintah tidak menindak tegas kecurangan yang dilakukan kubu 01. Seperti salah satu dan mungkin satu-satunya contoh kasus penyebaran identitas oleh kubu 01. Seperti yang saya ceritakan di kompasiana, ada salah satu buzzer politik yang menyebarkan identitas yang salah atas tuduhan seseorang yang mengancam memenggal kepala jokowi. Video ancaman tersebut seharusnya ditanggapi oleh pihak berwajib alias polisi, nah ini buzzer sok-sokan menyebar identitas orang yang dicurigai melakukan pengancaman tersebut.
Kurang adil bukan? Malah menurut saya ya ini the real otoriter. Ketakutan akan terulang lagi peristiwa saat orde baru, kini peristiwa pilih kasih terhadap berbagai pihak mulai terlihat. Bila kubu 01 berbuat salah akan ditolerir, namun lain halnya bila kubu 02. Memang untuk menjaga stabilitas negeri sangatlah sulit, namun apa susahnya bila berbuat adil? Kubu sini salah ya tindak, kubu sana salah ya harus ditindak juga. Kalau ada isu makar lalu menjadikan fokus kita berubah, dimana letak keadilan? Karena saya masih percaya, aparat hukum kita masih bisa menangani kecurangan di kubu 01 ataupun 02. Bukannya sumber dayanya habis karena fokus ke aksi makar.

Wednesday, 17 April 2019

Pemilu Pilu


Tanda sah selesai mencoblos
Jari ungu pilunya pemiku

Pemilu kali ini berjalan tanpa ibuk. Ya beberapa hari yang lalu ibuku meninggal dunia, yang menjadi sebab kepulanganku ke jawa. Meskipun terlambat satu hari --karena harus meminjam sana-sini-- aku bersyukur dapat pulang dan ikut tahlil hingga 7 hari.
Ku hanya menemui pusaranya yang bertanah merah, khas tanah urug baru dengan nisan putihnya. Pertama keluar mobil travel yang ku pikirkan adalah menuju pemakaman dimana ibu dipendam. Bertemu ibu berbatas tanah makam berkedalaman 2 meter.
Memang mustahil melihat perotnya bibir ibu karena stroke, apalagi mendengar titahnya yang mayoritas orang tidak mengerti itu. Hanya dapat berkomunikasi melalui tangis dan doa. Entah mengapa saat itu luapan emosiku susah terkendali.
Hari ini pemilu yang termasuk pilu. Bagi aku, keempat kakakku dan bapakku yang kerap menangis saat sumpah KPPS sebelum pemilu pasti akan menjadi pemilu yang pilu. Entah mengapa bapak seakan menyakralkan sumpah KPPS di tiap-tiap pemilu yang bertempat di rumahku. Beliau menyumpah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) bukan karena pemuka agama. Namun kewajibannya sebagai ketua KPPS.
Mulai orde baru pemilu terselenggara di rumah ketuanya bapakku. Ya, mungkin mulai aku lahir pemilu sudah diadakan di rumah. Karena seingatku tiap ada pemilu di rumah ya pasti di rumah. Mungkin bapak terlalu sosialis dan mengikhlaskan rumah sebagai Tempat Pemungutan Suara di tiap pemilu.
Pemilu pilu ini terlebih pada diriku, yang beberapa hari lalu sudah berencana ikut pemilu di tanah rantau malah sekarang pulang. Sedang galau pastinya, tapi urusan coblos mencoblos saya memilih pasrah ke bapak. Beliau urus sana urus sini, konsul sana konsul sini dan nama saya sudah bisa masuk daftar pemilih di tempat saya. Kepiluan tak sebatas berhenti di pemilu tanpa ibu, namaku yang sudah masuk daftar, tapi juga kebingungan dalam memilih calon legislatif.
Untuk presiden saya sudah mantap untuk tidak memilih, tapi tetap masuk bilik suara dengan catatan. Ini yang sama sekali belum pernah saya lakukan pada pilpres sebelumnya. Ya, membuat contekan agar tidak salah pilih karena hari-hari sebelumnya saya sudah riset pilihan yang memang sesuai.
Melalui kanal jariungu.com saya mencoba memilih dan memilah ribuan calon legislatif yang sesuai dengan keinginan. Susah pastinya mempelajari satu-satu dengan teliti dan mencoba komparasi data dengan caleg mantan koruptor. Dan berakhir pada pilihan berdasarkan alamat rumah terdekat dan pengalaman organisasi sang caleg.
Visi-misi pun saya abaikan, karena menurut saya kenapa harus melihat visi dan misi yang sesuai? Lha wong legislatif ini kan kebijakan yang dilahirkan berdasarkan musyawarah. Visi-misi mereka kuat dan sesuai pun akan musnah tergilas visi-misi fraksi ataupun partai. Terlebih jumlah kursi yang ada di dalam kantor dewan menjadi prioritas pengambilan keputusan.
Paling mudah dan efektif menurut saya ya lihat domisili rumahnya saja. Karena domisili ini secara insting manusia pasti dibela mati-matian. Seumpama ada kebijakan yang merugikan tempat domisilinya, meskipun caleg ini rapatnya di Jakarta pasti akan membela tempat domisilinya. Di tempat domisili bisa jadi ada aset atau keluarganya yang lagi-lagi secara manusiawi harus dibela.
Variabel kedua yang bisa dipertimbangkan adalah rekam jejak organisasi. Mungkin data ini hanya jariungu saja yang memiliki, karena website lain jarang menginformasikan hal ini. Dari rekam jejak organisasi ini bisa melihat bagaimana pengalaman caleg dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan negosiasi ala organisatoris pasti dimiliki bila caleg memiliki rekam jejak organisasi.
Memang kita hanya bisa memilih sejauh itu saja, untuk masa bertugas 5 tahunan sepertinya akan sangat mustahil bisa memantau dan mengganti bila mereka melakukan kesalahan. Memang untuk mencari orang baik kita hanya bisa belajar tentang sejarahnya saja. Meskipun masih belum ada korelasi antara sejarah seseorang dan masa depan seseorang. Selamat memilih.

Tuesday, 16 April 2019

Sexy Killer yang Sangat Berbahaya


Kubu prabowo dan jokowi
Diagram Oligarki Batu Bara (sumber: Film Sexy Killer)

Sexy Killer rasanya memang sang pembunuh yang sangat seksi, setidaknya dengan penegasan dalam film tersebut bahwa efek beruntun dari pembangunan PLTU baru yang akhir-akhir ini marak. Mungkin karena memang target kerja berlandaskan nawacita yang digaungkan 5 tahun lalu, menjadikan kebut sana kebut sini dengan tujuan mencukupi kebutuhan listrik yang ada di negeri ini.
Sedikit melenceng dengan kebutuhan energi tersebut, ternyata ada pihak yang dirugikan. Mulai dari batu bara sebagai bahan bakar PLTU, sampai pada abu PLTU yang mencemari masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU. Tidak sampai penambangannya saja, tapi dalam film besutan Watchdoc ini menggambarkan satu rangkaian kerusakan yang timbul.
Mari saya ajak berasumsi bila pembangkit listrik tenaga uap dikurangi. Mungkin saya terlalu naif bila menuntut hal ini hilang, makanya lebih baik berasumsi untuk dikurangi saja. Energi alternatifnya bisa dari angin, panas bumi, panas matahari dan energi yang tak harus repot membakar-bakar atau biasa disebut green energy.
Bagaimana bila energi alternatif tersebut dibuatkan landasan hukum yang jelas sehingga bisa menjadi insentif bagi pemakainya. Sedikit berkaca pada Uni Eropa yang mewajibkan seluruh negara anggota memakai minimal 30% energi hijau dari total kebutuhan listrik di negeri tersebut. Kalau tidak bisa menyediakan? Ya terpaksa impor energi hijau dari negara lain. Ini menurut saya konsepnya menarik.
Selain dapat memaksa pengguna energi konvensional untuk berinovasi dengan energi hijau, juga dapat menjadikan insentif lebih bagi mereka yang sudah mau beralih dengan memproduksi energi hijau. Selain adanya ekspor impor energi ini dapat menjadi udara lebih baik, juga dapat menambah devisa negara dengan menjual listrik.
Rasanya hal ini yang perlu dikritisi, bukan tentang siapa pengusahanya yang berujung dengan inisiasi golput karena yang jadi itu-itu saja. Tapi apa yang bisa dilakukan setelah kita tahu banyak korban akibat ulah PLTU. Terus menghujat yang salah atau kita ikut berbenah. Rasanya bila saya ikut diskusi film ini, saya akan mengatakan hal ini. Bagi anda yang baru tahu Sexy Killer setelah booming di Youtube mungkin juga baru tahu kalau ada nonton bareng yang diakhiri diskusi. Sebelum dirilis di Youtube, film ini sudah diedarkan untuk ditonton bersama. Dan mayoritas nonton bareng ini diakhiri diskusi yang mendatangkan organisasi lingkungan hidup.
Mungkin pihak Watchdoc terlebih mas Dandhy Laksono sudah menyadari akan terjadi pro-kontra dari film ini. Maka dari itu diadakanlah skenario diskusi setelah nonton bareng, agar setidaknya ada pro dan kontra yang bertemu secara tatap muka, bukan hanya sekedar menjadi story WhatsApp.

Saturday, 15 September 2018

Kelakar di Balik Tuntutan


Tubi-tubi kelucuan negeri ini kian menjadi, bukan karena politik praktis yang dibuat sedemikian dramatis, namun tentang tuntutan yang inginnya dianggap sadis malah seperti pragmatis. Mereka mencoba melawak di tengah hiruk pikuk 41 koruptor di sebuah gedung dewan perwakilan.
Ada sebuah organisasi yang memberikan tuntutan menghentikan impor dan menurunkan nilai tukar. Bila kedua tuntutan ini berdiri sendiri sangatlah bagus. Ekonomi negara banyolan ini akan sedikit membaik, cocok untuk berkembang biak.
Namun bila kedua tuntutan itu berdiri bersandingan tanpa berlarian kesana kemari pun juga bisa membuat tertawa. Mari kita pakai otak untuk mendadar teka teki kelakar yang ada di baliknya.
Bila menuntut untuk stop impor apakah perlu menuntut nilai tukar dollar turun?
Bila negara diibaratkan sebuah kampung, kampung tersebut tidak diperbolehkan membeli tempe dari kampung luar. Tapi tetap memperbolehkan menjual tempe ke luar kampung. Bila kampung tersebut diisolasi dengan cara harga tempe di kampung luar naik, pasti akan menjadi keuntungan tersendiri.
Lha wong tempe hasil produksi kampung tersebut laku mahal kok di luar. Ini sama dengan negara, bila nilai tukar membumbung tinggi seperti hati yang sedang dipuja. Pasti akan menjadi keuntungan bagi suatu negara. Kan negara tersebut ingin menjual barang, dan pasti persetan dengan harga barang di luar. Karena memang mindset-nya sudah tidak mau membeli.
Bila ada tuntutan hentikan impor dan turunkan nilai tukar dollar. Maka penurunan nilai tukar akan menjadi sangat sia-sia. Bila sang penuntut beropini dengan menggebu-gebu maka tertawalah. Mereka bukan sedang melawan tapi sedang melawak. Agar lebih woles lagi para pemangku negeri dan jauh dari kata ngeri. Sekali lagi tertawa adalah tanggapan paling tepat.

Thursday, 13 September 2018

Politikus di Balik Aksi Mahasiswa


Pekan kemarin sosial media ramai mempergunjingkan mahasiswa universitas islam riau berdemo atas pelemahan nilai tukar rupiah. Sangat jelas yang pro adalah golongan pendukung Prabowo-Sandi dan yang kontra adalah golongan pendukung Jokowi-Ma’ruf.
Para mahasiswa tersebut memberikan tuntutan-tuntutan yang menurut saya sangat lumrah. Hampir setiap periode kepresidenan pernah mendapat tuntutan tersebut. Dalih mahasiswa pun tetap mewakili rakyat indonesia (karena wakil rakyatnya sibuk nabrak tiang listrik) dan menganggap pemerintah sudah gagal sebagai penyelenggara negara.
Namun sayangnya, adanya dukungan dari para pendukung parpol dan juga orang parpol, yang membuat seakan-akan mahasiswa universitas riau seperti disusupi partai politik. Memang bukan barang baru bila partai politik masuk kampus, tapi bila secara terang-terangan pendukung partai mengamini dan mempublikasi aksi mahasiswa lain cerita.

Apalagi ditambah dengan narasi provokatif khas orang politik seperti “mahasiswa Universitas Islam Riau sudah bergerak, mahasiswa lain pada mingkem”.
padahal yang mempubliksi adalah akun yang sering mempublikasikan pergerakan bertajuk hashtag. Dapat dikatakan bukan mahasiswa, malah sepertinya simpatisan partai politik. Otomatis mahasiswa universitas lain akan jengah dan balik menyerang mahasiswa Riau yang notabene sama-sama pelaksana tridharma perguruan tinggi. Orang politik yang memprovokasi pun menolak untuk mengadvokasi, ujung-ujungnya ada sentimentil antar golongan mahasiswa hasil adu domba politisi.
Maka dari itu mari sebaiknya para mahasiswa tetap memegang teguh semangat untuk mengabdikan tridharma perguruan tinggi. Tanpa ada niat untuk menonjolkan kelompok, golongan, maupun individu. Karena sebanyak apapun pagar DPR yang roboh tetap mewakili rakyat, sejauh apapun long march yang membuat macet tetap untuk kepentingan rakyat. Bukan tim sukses Prabowo-Sandi ataupun Jokowi-Ma’ruf.
Ujung-ujungnya fungsi mahasiswa sebagai “tukang kritik” akan dianggap sebagai kemandulan yang nyata. Karena ada orang partai yang secara nyata mengadu domba. Ya, tentu untuk menabung suara di tahun depan. Tanpa risiko yang nyata berlindung dibalik nama mahasiswa.

Friday, 7 September 2018

Nasib Pengais Adsense Dikala Rupiah Melemah



By: Luerat Satichob

Akhir-akhir ini nilai tukar rupiah semakin terpuruk. Berbagai pakar dadakan pun muncul bak bara api di tengah padang pasir. Bukannya memberikan hawa sejuk malah memberikan hawa panas. Ditengah kebutaan informasi tersebut, saling tuduh antar tim sukses calon presiden malah terjadi. Sekali lagi, tidak mencerahkan malah mengeruhkan.
Pelemahan nilai tukar merupakan hal yang sangat menyakitkan memang. Mengutip pernyataan pak Dahlan Iskan yang menyatakan pelemahan nilai ini seperti pencopet yang tak berwujud. Beliau menganalogikan demikian karena telah tercopet beberapa ratus juta. Karena uang yang harusnya dapat dijadikan uang saku malah terdepresiasi gak karuan larinya.
Bila sudah begini yang diuntungkan adalah mereka yang pernah menukar uang (dari rupiah ke dollar) dengan nilai yang lebih murah. Bayangkan saja, bila menukar dollar saat nilainya Rp. 12.000 /dollar terus sekarang naik seharga Rp. 14.900/dollar. Pasti akan “laba” 2.900 per dollarnya.
Tak hanya penyimpan dollar saja yang diuntungkan. Beberapa orang yang kerjanya bersinggungan dengan dollar juga akan menikmati manisnya pelemahan rupiah. Saya ambil contoh blogger seperti saya ini. Dalam sebuah blog pasti akan mencantumkan adsense untuk penghasilannya. Bila penghasilan tersebut harga per kliknya dihitung dengan dollar pasti akan legit juga hasilnya. Memang harga per kliknya tidak naik, bila sudah ditetapkan 1 dollar maka tetap 1 dollar. Tapi bila nilai tukar rupiah lemah seperti saat ini pasti nilai tukarnya dalam dollar tersebut akan tinggi. Hal ini berujung pada nilai per kliknya tinggi juga (bila sudah dikonversi ke rupiah).
Memang ilmu seperti ini dapat dikatakan berpesta di atas tangisan traveler yang akan jalan-jalan ke luar negeri. Tapi apa boleh buat, biarkan traveler mengurungkan tertawanya, dan kita para blogger, youtuber, dan semua pekerja di depan layar menikmati pelemahan nilai tukar yang melemah, lesu, dan lunglai ini.

Saturday, 25 August 2018

Menimbang Positif dan Negatif Penetapan Bencana Nasional


Gempa Lombok lambat laun tak mau berhenti, tak hanya guncangan dari dalam bumi saja guncangan dan rentetan twit politisi seakan tak berhenti. Saling koreksi pun terjadi seakan masa bodoh kepentingan hati. Setidaknya itulah yang terjadi pasca gempa lombok. Dari serentetan koreksi saya perlahan-lahan menyoroti sebuah koreksi.

Adalah pak Fadli Zon yang pendapat awalnya saya baca. Terkait bencana lombok beliau mengusulkan untuk menjadikan bencana ini menjadi bencana nasional. Hal ini dapat memutar ingatan saya pada mata kuliah PPh Badan. Dalam penghitungan PPh Badan sumbangan kepada bencana yang ditetapkan sebagai bencana nasional dapat dijadikan biaya.
Jadi tidak semua biaya/sumbangan yang diberikan ke sebuah bencana dapat dimasukkan dalam penghitungan laba rugi. Efeknya bila masih ngeyel menyumbang untuk bencana tersebut bisa-bisa perusahaan rugi. Kerugian tersebut disebabkan koreksi fiskal, yang harusnya uang keluar untuk sumbangan dapat mengurangi penghasilan perusahaan dimata pajak, malah tidak dapat mengurangi laba perusahaan. Jadi pendek kata kerugian tersebut dialami karena sudah nyumbang tapi pajak tetap dibebankan seakan perusahaan tidak menyumbang.
Hal ini sangat dilematis memang, negara seakan memotong asas keadilan sosial. Yang harusnya rakyat saling tolong menolong malah negara masih menutup mata dengan tetap mengenakan pajak yang berat.
Dilansir dari ucapan humas BNPB yang kemarin baru menjalani operasi kemoterapi menyatakan bahwa masih banyak yang salah kaprah terkait status bencana nasional ini. Karena banyak pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum status bencana nasional tersebut ditetapkan. Karena pasti ada efek domino dari penetapan bencana nasional.
Memang tak menutup kemungkinan salah duanya dari efek baik penetapan bencana nasional tersebut adalah terbukanya bantuan internasional sebesar-besarnya dan sumbangan dari perusahaan pasti dapat dibebankan pada laporan laba rugi. Bantuan yang datang pastilah melimpah ruah, seperti pada bencana nasional di aceh saat tsunami terjadi.
Namun bagai buah simalakama, tak hanya bantuan saja yang diterima. Sisi buruk penetapan status bencana nasional tersebut juga dapat melumpuhkan provinsi yang ditetapkan. Pendek kata penatapan bencana nasional tersebut akan memberikan dampak negatif kabupaten lain di NTB yang tidak terkena bencana. Seperti Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Pulau Moyo dan pulau-pulau lain. Karena rakyat internasional secara tidak langsung NTB merupakan wilayah terdampak bencana. Semua wisatawan, pebisnis, bahkan negara akan mengeluarkan larangan untuk mengunjungi provinsi tersebut kecuali untuk menyalurkan bantuan. Menurut TGB yang tidak perlu saya jelaskan akronim, tersebut pasti para pembaca mengetahui. Pemerintah daerah saat ini masih dapat mengatasinya, meskipun dalam hal bantuan masih tetap mendapat dari pemerintah pusat, tapi mekanisme penyaluran bantuan tetap melalui pemerinta daerah.
Jadi bila menimbang dari sisi buruknya tersebut sepertinya pemerintah daerah NTB masih belum membutuhkan penetapan status menjadi bencana nasional. Sengotot apapun kita mengkritik mereka bila secara kajian untung rugi Pemda masih menyatakan belum perlu kita yang hanya sebatas tukang nyinyir ini mau apa?

Thursday, 2 August 2018

Aku Hanyalah Seorang Cebong yang Tertukar



Entah kenapa tiba-tiba saya ingin menulis tentang statuta saya yang non blok (tidak membela blok cebong ataupun blok kampret). Mungkin karena pada suatu masa saya sudah kesal dengan pola pikir yang cenderung bobrok ini. Bayangkan betapa tidak enaknya bila kita mencoba objektif dan ujung-ujungnya dikalungkan nama kampret atau cebong.
Seperti contoh misalnya, barusan ini tadi ada seorang yang saya follow di Twitter bilang, “Buang sampah di laut sama peledakan perahu itu sangat berbeda”. Saya pun dengan rasa penasaran yang tak terbendung bertanya ,”lha bedanya apa? Kan ya sama-sama buang dan tidak diambil”. Tanpa ada tedeng aling-aling nama kampret pun langsung mengalung di diri saya. Seakan ingin menangis dan teriak “aku tu butuh jawaban, bukan ini yang aku butuhin”.
Kasus kedua ketika saya mencoba untuk objektif menanyakan sebuah kasus. Tetap saya mencomot Twitter sebagai contoh, bukan karena di sosmed lain tidak ada agenda kumpul-kumpul, namun memang kentalnya justifikasi itu ya di Twitter ini. Saat sebuah hashtag ganti presiden melakukan aksi di depan sebuah warung yang disebut “jantung pertahanan”. Dengan rasa penasaran yang sama karena memang tidak tahu saya tanya, “lha rumahnya Jokowi di sebelah mananya mas?”. Sekali lagi saya mendapat perlakuan yang sama, nama cebong pun masuk menjadi panggilan saya dan pertanyaan saya tak terjawab.
Inti dari kedua justifikasi tersebut sepertinya sama saja, mungkin ini adalah transformasi pembungkaman zaman dahulu. Jika dahulu kritik dibungkam dengan kalimat ndak ilok dalam bahasa jawa dan pamali dalam bahasa sunda kini berganti dengan justifikasi tersebut.
Padahal ya, dalam sebuah video yang diunggah ke Youtube ada seorang ustadz bilang bahwa “dilarang nyebong-nyebongin dan ngampret-ngampretin sesama saudara”. Tapi ya sekedar angin lalu saja peringatan tersebut, bagai ultimatum NICA yang tak digubris Arek-Arek Suroboyo sebelum Agresi Militer.
Selain itu apa kedua pihak tersebut hanya memikirkan di dunia ini hanya ada dua kubu? Kalau nggak cebong ya kampret. Apa mereka belum sadar bahwa ada yang non-cebong karena kecewa dengan kinerja presiden saat ini, dan juga non-kampret yang masih belum sudi memilih sang jendral (purn) karena jengah dengan cara “kampanye”-nya. Bila hal ini disadari banyak orang yang non-cebong dan non-kampret.
Salah satunya adalah simpatisan aksi kamisan di depan istana, lha mau ndukung gimana? Janji saat kampanye untuk mengusut tuntas pelanggaran HAM sudah diblenjani. Apalagi kalau pak jendral (purn) yang jadi presiden?
Banyak pertanyaan yang belum terjawab, banyak penasaran yang belum terpecahkan. Ayolah, jangan justifikasi ketika ada yang tanya. Pun juga jangan menjadi antipati koreksi seperti itu. Bukan masalah emosi yang meletup seperti popcorn saat di-katain. Tapi ini tentang image mereka yang kalian bela dengan ngatain orang lain. Apakah akan naik atau turun?