Kembali Ke Bali
Entah mengapa, akhir-akhir ini sepertinya balasan tuhan
seperti lewat jalur kilat khusus. Siapa yang menyangka jika saya beramal bensin
senilai 20.000 langsung mendapat imbalan perjalanan dinas ke Bali pada keesokan
harinya. Jangankan anda, saya pun juga tidak memercayai itu, tapi yang dapat
saya yakinkan kepada anda adalah hal itu benar-benar terjadi kepada saya.
Ini adalah perjalanan dinas kedua saya di tahun 2020 yang
masih seumuran jagung ini. Agendanya adalah untuk menjalani bimbingan teknis
terkait aplikasi pengadaan baru yang akan berlaku di lingkungan kementerian Pendidikan
dan kebudayaan. Entah alasan apa yang mendasari pak bos mendelegasikan saya
sebagai operator aplikasi pengadaan, karena latar belakang pekerjaan saya adalah
operator aplikasi pelaporan keuangan di lingkungan universitas papua.
Mungkin saya harusnya berdamai dengan hal itu dan memulai
menceritakan Bali dari sisi seorang pegawai negeri yang sedang perjalanan
dinas. Setelah sebelumnya saya juga ke bali namun hanya numpang lewat dan
bertindak sebagai pelancong minimalis atau biasa disebut dengan backpacker. Feel yang berbeda jelas mencolok, seumur-umur baru kali ini saya ke
bandara Bali, sebelumnya jelas memilih naik bus dan menyeberang dengan kapal. Di
tengah rasa takjub saya pada konstruksi bandara yang dapat dikatakan sangat nyeni, terselip rasa bertanya-tanya, “kok
sepi sih?”. Bukan lantas kalimat tersebut mengundang Sesar untuk berjoget heboh
ala acara saat sahur, namun memang bandara saat sore hari kami datang tersebut
memang sepi.
Singkat cerita kami menemukan fenomena aneh di bandara ini,
yaitu para sopir taksi online yang
menawarkan jasa offline. Entah apa
yang dipikirkan mas ini. Ada yang mudah penumpang malah ditawarkan jasa yang
susah dengan alasan telepon genggamnya mati dan memohon bantuan calon penumpang
untuk naik mobilnya saja. Mas ini menawarkan jasanya berjarak kurang lebih 20
meter dari Counter Grab yang ada di
bandara. Entah mas ini belajar teori marketing dimana, sehingga counter berwarna hijau tersebut bukan ancaman
serius.
Selain sopir yang menawarkan jasanya secara serampangan
tersebut, juga ada sopir yang akhirnya jasanya kami pakai untuk ke hotel. Kami memang
memesan Grab secara online, tampilan pakaiannya memancarkan aura bahwa sopir
ini adalah supir travel. Memakai baju batik, celana dengan sedikit aksen Bali
dan lengkap dengan ikat kepala khas Bali. Pak sopir ini seakan menjadi
penegasan bahwa Bali memang tempat wisata. Dengan penuturan khas travel membuat
kami yang menjadi penumpang lupa bahwa kami menumpang taksi online.
Hari-hari panas pun kami lalui selama di Bali, panasnya Bali
ternyata melebihi Manokwari. Alhasil rencana untuk wisata luar ruangan setelah
mendapatkan materi bimbingan teknis saya ganti dengan berwisata dalam ruangan. Lha kok ndilalah disamping hotel kami
ada transtudio mall yang ada bioskopnya. Dan kebetulannya juga bioskop tersebut
menampilkan Sonic. Saya menikmati sensasi berwisata di dalam mal secara keseluruhan.
Namun mungkin keesokan harinya saya memang harus memaksakan diri untuk sekedar
berjalan ke pantai Pandawa. Benar-benar liburan khas perkotaan yang selama ini
tidak terbayangkan.
Saat pulangnya barulah saya mengetahui, berkat mas-mas jawa
supir Grab yang menawarkan paket wisata yang akhirnya kami ambil ini. Ternyata Bali
memang saat ini sedang sepi-sepinya. Karena adanya virus corona yang masih
belum ditemukan obatnya. Bandara yang sedianya ramai tersebut tiba-tiba mati
suri. Seakan tidak ada pengunjung lagi di Bali. Menyusul juga adanya larangan
umroh dari negeri jiran menambah was-was para wisatawan. Semoga segera selesai.
Karena wisata Bali percaya ataupun tidak didominasi oleh wisatawan Australia dan Cina, jika Cina lumpuh akan sangat berdampak kepada para pengusaha wisata. Berbicara tentang Cina kemarin juga saya berkesempatan untuk berkunjung ke pabrik kopi Domba. Resepsionisnya sepertinya memang asli Cina. Sipit, berkulit putih, dan gaya berbicara bahasanya sangat mirip dengan mbak cina di iklan Hago. Mungkin memang pangsa pasar pabrik penjual kopi sekaligus wisata edukasi kopi ini yang mengijinkan adanya resepsionis yang khusus bisa berbahasa indonesia dan yang pandai bercakap-cakap bahasa inggris. Alih-alih mempermasalahkan resepsionis yang tidak pandai berbicara bahasa indonesia, saya malah mempersoalkan harga kopinya yang sangat mahal. Seperempat kilo seharga 150 ribu. Karena terpesona dengan kelihaian mbaknya dalam mempresentasikan produk, saya membeli dua bungkus kopi.
Memang cara menikmati keindahan Bali dengan berbagai sudut pandang akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula. Tapi saya tidak begitu menikmati cara memandang seorang PNS yang mendapat jatah perjalanan dinas. Karena dengan banyak uang saya akan bertemu lebih banyak orang yang cantik nan menggairahkan. Semoga segera selesai.
Karena wisata Bali percaya ataupun tidak didominasi oleh wisatawan Australia dan Cina, jika Cina lumpuh akan sangat berdampak kepada para pengusaha wisata. Berbicara tentang Cina kemarin juga saya berkesempatan untuk berkunjung ke pabrik kopi Domba. Resepsionisnya sepertinya memang asli Cina. Sipit, berkulit putih, dan gaya berbicara bahasanya sangat mirip dengan mbak cina di iklan Hago. Mungkin memang pangsa pasar pabrik penjual kopi sekaligus wisata edukasi kopi ini yang mengijinkan adanya resepsionis yang khusus bisa berbahasa indonesia dan yang pandai bercakap-cakap bahasa inggris. Alih-alih mempermasalahkan resepsionis yang tidak pandai berbicara bahasa indonesia, saya malah mempersoalkan harga kopinya yang sangat mahal. Seperempat kilo seharga 150 ribu. Karena terpesona dengan kelihaian mbaknya dalam mempresentasikan produk, saya membeli dua bungkus kopi.
Memang cara menikmati keindahan Bali dengan berbagai sudut pandang akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula. Tapi saya tidak begitu menikmati cara memandang seorang PNS yang mendapat jatah perjalanan dinas. Karena dengan banyak uang saya akan bertemu lebih banyak orang yang cantik nan menggairahkan. Semoga segera selesai.
saling jaga kesehatan ya teman-teman :D
ReplyDelete