Coro merupakan bahasa jawa dari kecoak, omong coro bermakna omongan ngelantur tapi dapat dinyatakan jujur. Maka ketenangan serupa apa lagi yang dicari di dunia yang fana ini selain kejujuran. Tulisan berikut merupakan contoh dari omong coro.

Search This Blog

Translate

About Me

My photo
Hi, saya pungkas nurrohman yang mencoba dewasa dengan jalan-jalan

Monday 9 March 2020

Kembali Ke Bali



Entah mengapa, akhir-akhir ini sepertinya balasan tuhan seperti lewat jalur kilat khusus. Siapa yang menyangka jika saya beramal bensin senilai 20.000 langsung mendapat imbalan perjalanan dinas ke Bali pada keesokan harinya. Jangankan anda, saya pun juga tidak memercayai itu, tapi yang dapat saya yakinkan kepada anda adalah hal itu benar-benar terjadi kepada saya.
Ini adalah perjalanan dinas kedua saya di tahun 2020 yang masih seumuran jagung ini. Agendanya adalah untuk menjalani bimbingan teknis terkait aplikasi pengadaan baru yang akan berlaku di lingkungan kementerian Pendidikan dan kebudayaan. Entah alasan apa yang mendasari pak bos mendelegasikan saya sebagai operator aplikasi pengadaan, karena latar belakang pekerjaan saya adalah operator aplikasi pelaporan keuangan di lingkungan universitas papua.
Mungkin saya harusnya berdamai dengan hal itu dan memulai menceritakan Bali dari sisi seorang pegawai negeri yang sedang perjalanan dinas. Setelah sebelumnya saya juga ke bali namun hanya numpang lewat dan bertindak sebagai pelancong minimalis atau biasa disebut dengan backpacker. Feel yang berbeda jelas mencolok, seumur-umur baru kali ini saya ke bandara Bali, sebelumnya jelas memilih naik bus dan menyeberang dengan kapal. Di tengah rasa takjub saya pada konstruksi bandara yang dapat dikatakan sangat nyeni, terselip rasa bertanya-tanya, “kok sepi sih?”. Bukan lantas kalimat tersebut mengundang Sesar untuk berjoget heboh ala acara saat sahur, namun memang bandara saat sore hari kami datang tersebut memang sepi.

Singkat cerita kami menemukan fenomena aneh di bandara ini, yaitu para sopir taksi online yang menawarkan jasa offline. Entah apa yang dipikirkan mas ini. Ada yang mudah penumpang malah ditawarkan jasa yang susah dengan alasan telepon genggamnya mati dan memohon bantuan calon penumpang untuk naik mobilnya saja. Mas ini menawarkan jasanya berjarak kurang lebih 20 meter dari Counter Grab yang ada di bandara. Entah mas ini belajar teori marketing dimana, sehingga counter berwarna hijau tersebut bukan ancaman serius.
Selain sopir yang menawarkan jasanya secara serampangan tersebut, juga ada sopir yang akhirnya jasanya kami pakai untuk ke hotel. Kami memang memesan Grab secara online, tampilan pakaiannya memancarkan aura bahwa sopir ini adalah supir travel. Memakai baju batik, celana dengan sedikit aksen Bali dan lengkap dengan ikat kepala khas Bali. Pak sopir ini seakan menjadi penegasan bahwa Bali memang tempat wisata. Dengan penuturan khas travel membuat kami yang menjadi penumpang lupa bahwa kami menumpang taksi online.
Hari-hari panas pun kami lalui selama di Bali, panasnya Bali ternyata melebihi Manokwari. Alhasil rencana untuk wisata luar ruangan setelah mendapatkan materi bimbingan teknis saya ganti dengan berwisata dalam ruangan. Lha kok ndilalah disamping hotel kami ada transtudio mall yang ada bioskopnya. Dan kebetulannya juga bioskop tersebut menampilkan Sonic. Saya menikmati sensasi berwisata di dalam mal secara keseluruhan. Namun mungkin keesokan harinya saya memang harus memaksakan diri untuk sekedar berjalan ke pantai Pandawa. Benar-benar liburan khas perkotaan yang selama ini tidak terbayangkan.

Saat pulangnya barulah saya mengetahui, berkat mas-mas jawa supir Grab yang menawarkan paket wisata yang akhirnya kami ambil ini. Ternyata Bali memang saat ini sedang sepi-sepinya. Karena adanya virus corona yang masih belum ditemukan obatnya. Bandara yang sedianya ramai tersebut tiba-tiba mati suri. Seakan tidak ada pengunjung lagi di Bali. Menyusul juga adanya larangan umroh dari negeri jiran menambah was-was para wisatawan. Semoga segera selesai.
Karena wisata Bali percaya ataupun tidak didominasi oleh wisatawan Australia dan Cina, jika Cina lumpuh akan sangat berdampak kepada para pengusaha wisata. Berbicara tentang Cina kemarin juga saya berkesempatan untuk berkunjung ke pabrik kopi Domba. Resepsionisnya sepertinya memang asli Cina. Sipit, berkulit putih, dan gaya berbicara bahasanya sangat mirip dengan mbak cina di iklan Hago. Mungkin memang pangsa pasar pabrik penjual kopi sekaligus wisata edukasi kopi ini yang mengijinkan adanya resepsionis yang khusus bisa berbahasa indonesia dan yang pandai bercakap-cakap bahasa inggris. Alih-alih mempermasalahkan resepsionis yang tidak pandai berbicara bahasa indonesia, saya malah mempersoalkan harga kopinya yang sangat mahal. Seperempat kilo seharga 150 ribu. Karena terpesona dengan kelihaian mbaknya dalam mempresentasikan produk, saya membeli dua bungkus kopi.
Memang cara menikmati keindahan Bali dengan berbagai sudut pandang akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula. Tapi saya tidak begitu menikmati cara memandang seorang PNS yang mendapat jatah perjalanan dinas. Karena dengan banyak uang saya akan bertemu lebih banyak orang yang cantik nan menggairahkan. Semoga segera selesai.

1 comment: