Sekali-kali Miskin
Satu minggu belakangan merupakan hari yang penuh penghematan bagi saya, ketika menyadari amunisi uang sudah mulai habis karena perencanaan yang meleset lumayan jauh. Jadi ceritanya saya sedang bangun rumah, taksiran biaya yang dikeluarkan adalah 25 juta. Memang itu adalah taksiran kasar, dalam benak saya terpikirkan teori pemulihan ekonomi nasional.
Jadi saya memiliki pemahaman di masa pandemi ini sebaiknya malah lebih konsumtif. Karena jika kita tetap menumpuk uang, ada orang disekitar kita yang memiliki kemampuan ekonomi yang bisa dikatakan di bawah kita, pasti akan terpukul mati-matian. Dampaknya tentu beruntun. Seperti yang saya sebutkan dalam tulisan kemarin, dampaknya bisa saja merugikan kita. Orang lapar pasti nekat dengan segala usahanya.
Nah berangkat dari pemahaman pendek inilah yang membuat saya tidak siap untuk melanjutkan hidup dengan lumrah, ditambah lagi dengan tidak adanya cadangan amunisi. Dalam ilmu perencanaan keuangan, kita mengenal dana darurat. Dana darurat ini semacam survival saving, idealnya harus disiapkan sebesar biaya hidup 3 bulan kedepan. Nah cadangan amunisi keuangan inilah yang harusnya ada, sehingga tidak sampai memakan mie instan setiap hari.
Mungkin terdengar berlebihan, tapi saya memang melakukan hal itu untuk seminggu kemarin hingga bulan depan. Karena ada penghasilan yang pencairannya tertunda, dan saya luput dalam menyiapkan kemungkinan terburuk ini. Cadangan uang saya hanya 1,5 juta untuk hidup selama satu bulan. Apa boleh buat, saya tidak mau mengulur waktu dalam berhemat, hingga uang yang saya miliki ludes. Saya harus sedikit menyegerakan hidup hemat. Mulai dengan mengkonsumsi mie instan, mengurangi penggunaan paket data, hingga memberhentikan sementara rutinitas berenang.
Hal ini karena saya salah fokus dalam mengimplementasikan ide (atau mungkin ideologi) pemulihan ekonomi nasional. Saya terlalu fokus untuk membangun rumah kontrakan hanya agar tukangnya ada kerjaan. Tanpa memikirkan efek terburuk bahkan untuk saya sendiri. Mungkin ini dapat mengganggu keberlanjutan implementasi ide, terlebih jika saya gagal dalam menjaga kewarasan.
Ternyata CPNS seperti saya tetap harus menjaga siklus kesehatan finansial. Karena memang secara keseluruhan penghasilan satu tahun bisa dibilang pasti. Tapi untuk penghasilan perbulan -seperti kasusnya bulan ini- tidak pasti. Banyak faktor yang mempengaruhi tertundanya penghasilan bulanan seorang abdi negara. Karena banyak pula yang berperan dalam berlangsungnya penghasilan tersebut.
Contoh pada kasus saya bulan ini tunjangan kinerja. Tunjangan kinerja bulan ini tertunda nggak karuan karena peralihan sistem. Yang awalnya sasaran kinerja pegawai diisi secara manual, kini diisi dengan cara online. Sasaran kinerja pegawai ini sebagai dasar penghitungan tunjangan. Jadi kalau dasar penghitungannya masih dalam tahap peralihan, otomatis tunjangannya akan tertunda. Apalagi ada kabar beredar kalau baru diproses jika seluruh pegawai sudah mengerjakan. Tahu kan mental pegawai negeri yang ngeri itu. Apalagi generasi tua, pegawai yang tidak tahu menahu cara penggunaan gawai.
Jadi dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak selama ASN itu penghasilannya pasti. Seorang aparatur sipil negara memang dari segi pembayar sudah bisa dikatakan pasti, tapi dari sisi ketepatan waktu dapat dikatakan masih jauh dari kata pasti. Sangat berbeda dengan pihak swasta. Maka dari itu meskipun sudah menjadi abdi negara saya rasa wajib untuk memiliki dana darurat dan menerapkan perencanaan keuangan. Kecuali jika sanggup menanggung resiko untuk berhemat secara ekstrim seperti saya.
0 comments:
Post a Comment